Dugaan Pungli Menyeruak di Pengurusan Ijin Berlayar Kapal Nelayan
Bolaang Uki, MS
Dugaan pungutan liar (pungli) berhembus pada pengurusan dokumen berlayar kapal nelayan
jenis pajeko di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Sejumlah pemilik pajeko-pun
kini mulai mengeluhkan pungli yang di raup pihak Syahbandar Perhubungan Laut
Kotabunan wilayah kerja Pelabuhan Torosik dan Dudepo serta Petugas Kantor
Kesehatan Kapal (KKP) wilayah Kerja Molibagu. Padahal, mereka tak memiliki
landasan hukum dalam menentukan biaya kepengurusan dokumen berlayar.
Sebagaimana disampaikan HH alias Sah salah satu di antara pemilik Pajeko yang
di temui di Pelabuhan Dudepo, pekan lalu. Ia menduga adanya indikasi pungutan
liar (Pungli) di lingkungan Syahbandar Pelabuhan dan petugas KKP. "Berat
ini Syahbandar deng petugas kesehatan kapal. Kami harus mengeluarkan anggaran
kurang lebih dua ratus ribu rupiah untuk semua kepengurusan dokumen. Itu untuk
sekali berlayar," kata Sah saat diwawancarai.
Dia memaparkan, adapun dokumen yang harus dibayar di antaranya;
SIB (Surat Izin Berlayar) Rp 60 ribu, kesehatan kapal Rp 60 ribu, daftar
ABK Rp 25 ribu sekali cap dan tambat labuh sebesar Rp 1.750/GT (Gross Tonnage).
"Hanya SLO (Surat Layak Operasi) yang kepengurusannya gratis, sedangkan
yang menentukan kita bisa berlayar atau tidak adalah SLO," bebernya.
Lanjut Sah, dalam sebulan kapalnya hampir tiap hari
melakukan pelayaran. "Setiap kali berlayar harus keluar biaya, bayar dua
ratus ribu itu. Masalahnya ini tiap hari. Dapat tangkapan atau tidak kita sudah
mesti bayar itu.Berbeda dengan pelabuhan Lolak dan Manado, itu rata-rata nelayannya
berlayar sampai hitungan minggu. Kalau kita di Bolsel ini rata-rata tiap hari,
kecuali cuaca sedang buruk," keluhnya.
Lanjutnya, dalam satu tahun, pemilik pajeko nyaris mengeluarkan Rp 60-an juta hanya untuk
mengurus urus dokumen kapal. "Saya ingat dulu, awalnya biaya kepengurusan
dokumen sekali berlayar ca dua puluh ribu rupiah, tetapi seiring berjalannya
waktu naik-naik terus. Sekarang so dua ratusan ribu," katanya.
Di lokasi yang sama, HN alias Her pemilik pajeko lainnya
juga menyebutkan, selain membayar kesehatan kapal Rp 60 ribu, setiap pemilik
kapal juga dituntut membayar buku kesehatan. "Torang kalau mo urus kesehatan kapal dorang jaga kase buku. Kong
itu buku kesehatan setiap kali penuh depe isi, torang diharuskan beli lagi yang
baru. Depe harga dua ratus lima puluh ribu," ungkapnya.
Menurut Her, beberapa kali pihaknya juga merasa diakali oleh
petugas KKP. "Mengenai obat pak, itu kan dorang so tentukan yang torang
harus bayar for kesehatan kapal. Tapi lain kali ABK minta obat dorang nyanda
kase," kesalnya.
Terkait dengan kepengurusan dokumen berlayar, Her juga kesal
dengan biaya perpanjangan sertifikat kelaiklautan yang biasanya diurus per tiga
bulan atau enam bulan, tergantung kondisi kapal. Termasuk seritifkat Pas Besar
yang diurus per tahun. "Selain mo bayar yang tiap kali melaut itu, ada
juga surat yang harus torang bayar per tiga bulan Itu kelaiklautan deng
kesempurnaan, itu enam ratus ribu, untuk sertifikat pas besar diurus setahun
sekali juga dibayar lebih mahal."
"Berbeda deng tambat labuh, itu torang tau memang ada
depe aturan mar kalo yang lain ini nda jelas. Kitorang tanya di sana, dorang
cuma bilang, memang so begitu kata," sentil Her yang turut dibenarkan Sah.
Menurut Her, sebagai pemilik pajeko dirinya tidak
mempersoalkan jika memang retribusi itu murni ditetapkan pemerintah, tetapi
retribusi yang ditetapkan pihak syahbandar dinilainya terkesan hanya
dibuat-buat. "Anehnya, setiap kali torang babayar semua persyaratan itu,
kalo torang minta nota pembayaran dorang nimau kase. Yang meresahkan itu yang
dibayar di kesyahbandaran dan petugas kesehatan kapal."
"Nah itu torang usul, bekeng satu atapjo di pelabuhan
sini (Pelabuhan Dudepo) deng pengurusan berkas, itu kase kurang akang kasiang
depe biaya. Bekeng syahbandar perikanan di sini supaya torang baurus satu kali
di satu tampa," harapnya.
Menurut Sah dan Her, SLO diurus di Pelabuhan Dudepo,
retribusi tambat labuh ditarik oleh petugas UPTD provinsi, sementara SIB,
kelaiklautan, kesempurnaan, sertifikat pas besar dan kesehatan kapal semua satu paket diurus di
Kantor Syahbandar yang berlokasi di Desa Sondana, Kecamatan Bolaang Uki.
"Pak minta tolong jangan kase publis kitorang pe nama asli, kage dorang
dapa tau torang balapor pa wartawan kong dorang mo persulit pa kitorang
nanti," ujar Her yang diiyakan oleh Sah di akhir wawancara.
Menanggapi persoalan ini, Kepala Syahbandar Perhubungan Laut
Bolsel, Syahril Mokoagow saat ditemui dikantornya mengakui, pihaknya baru
sebatas melayani penerbitas SIB. "Terkait dengan pelayanan kapal, torang
cuma urus SIB, karena di sini belum ada syahbandar perikanan," katanya.
Syahril pun mengatakan, dasar penerbitan SIB jika pemilik
kapal sudah mengantongi SLO. "Teknis penerbitan SIB harus memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan, yang paling utama SLO, kelaiklautan,
kesehatan kapal, daftar ABK dan sebagainya," katanya lagi.
Ditanya terkait dengan kepengurusan retribusi SIB, Syahril mengaku sebenarnya itu
gratis. "Cuma ada sekedar ada semacam emmm~ (sambil bergumam) artinya kita
tidak patok dang." ujar Syahril agak gemetar.
Ia pun mengakui, penarikan retribusi bagian dari Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP). "Cuman di sana kan ada semacam pemungutan PNBP.
Kelebihannya kitorang tidak patok sih. Jujur Pak! Jadi mo jujur ini... kitorang
pungut secara... artinya... itu cuma torang pe biaya operasional ke sana ke
mari dang. Nyanda juga kitorang kase harus begini dang," kata Syahril agak
gugup.
Perihal besaran biaya PNBP, Syahril menyatakan dari regulasi
ditetapkan hanya Rp125 per GT. "Itu cuma seratus dua puluh lima rupiah per
GT-nya. Perkapal itu cuma dua ribu rupiah. Pemeriksaan kapal itu dua puluh lima
ribu rupiah."Kalo kesehatan kapal itu lain. Tapi kalo SIB biasa torang minta lima puluh ribu pak.
Soalnya kan tempat ini kan cuma rumah pribadi kong torang sewa artinya torang
mo babayar akang. Nda ada depe lebeh, cuma itu," bebernya.
"Artinya buka-bukaan, itupun tidak menjadi patokan
seberapa sih dorang kase," beber Syahril bernada senduh.
Di sisi lain, Syahril juga tidak menampik kepengurusan
kesehatan kapal juga dilakukan satu pintu di kantornya. "Kalo kesehatan
kapal biayanya enam puluh ribu rupiah. Tapi sebenarnya kwa itu bukan torang pe
rana dang. Karena kebetulan depe petugas cuma satu jadi torang juga bekeng di
sini (kantor syahbandar). Soalnya torang juga ada keterlibatan penandatanganan
dorang punya dokumen kesehatan. Memang terkesan juga tako pertama. Karena
banyak isu torang tarek 120 ribu. Sehingga perintah pimpinan ke kita tidak usah
layani kesehatan," imbuh Syahril.
Sementara itu, terkait dengan pemunguntan sertifikat
kelaiklautan Syahril pun mengaku memberikan kelonggaran kepada sejumlah pemilik
kapal. "Depe tenggang sertifikat itu tinggal melihat situasi dan kondisi
kapal. Kalo kapal sudah tua torang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan
sertifikat itu. Ini sifatnya menolong dang. Kemanusiaan toh? Nelayan suka
melaut, sertifikat so mati, kapal so tua. Kalo torang mo telusuri secara detil,
ada beberapa kapal yang torang so nda bisa kase akang sertifikat layak operasi.
Kasiang juga kan?" jelas Syahril.
Syahril juga menyatakan biaya penerbitan sertifikat
kelailautan itu hanya Rp 50 ribu. "Penerbitan sertifikat itu yang disetor
ke pusat lima puluh ribu rupiah. Cuma terkadang torang turun periksa kan.
Torang nda tentukan besaran tarif sih, tapi istilahnya doi jalan lah. Itupun
kalo dorang merasa berat nda jadi masalah noh. Istilahnya dorang pe terima kase
begitu dang," aku Syahril.
Diminta perihal data rekapan penerimaan retribusi PNBP di
Syahbandar, Syahril tidak bisa menunjukan data tersebut. "Torang nyanda
catat itu pak, depe data ada di pusat," tandasnya.
Di kesenpatan yang sama, Melisa Robot petugas KKP Wilker
Molibagu yang juga hadir di Kantor Syahbandar kala itu mengakui tugasnya untuk
memeriksa kesehatan kapal. "Kita juga ada SIB, ada juga biaya pemeriksaan
petugas ke kapal. Bukan cuma orang kan mo periksa ini, Torang periksa apakah
ada kecoa ada tikus. Apalagi kalo torang ke torosik, biaya ke sana ditanggung
pajeko dang," cetusnya.
Masalah PNBP sendiri, Melisa mengakui, yang ditarik ke
nelayan hanya Rp 40 ribu. "Kalo mo bayar PNBP cuman 40 ribu. Biasanya kan
setor di bank, torang mo kase kode billing pajak, cuma kan kalo di bank ba
antri jadi dorang (pemilik kapal) bekeng manual," ujarnya.
Melisa menjelaskan, penentuan PNBP itu semua ditentukan
pusat. 1 GT sampai 6 GT gratis. 7 sam 30 ada dasarnya juga, begitu seterusnya.
"Jadi yang dikeluarkan nelayan cuma PNBP dengan biaya pemeriksaan. Biaya
pemeriksaan dua puluh lima ribu. Kecuali ke Pelabuhan Torosik nda mungkin dua
puluh lima ribu apalagi biaya oto ke sana. Jadi biaya itu biasanya ditanggung
pemilik pajeko," jelas Melisa.
Ditanya serupa terkait data rekapan PNBP saru tahun
terakhir. Melisa mengakui memiliki itu, tetapi tidak sinkron dengan jumlah SLO
yang diterbitkan. "Biasa kan klo dorang so ba urus SLO so nda datang
kamari pa torang. Dorang so lari akang, jadi nda mungkin juga kan kita mo dapa
tau siapa yang so ba urus SLO," ujarnya.
"Jadi kalo pun ada datanya. Di sana mungkin seratus, di
kita sini cuma ada enam puluh, karena sisanya lari," ujarnya lagi.
Terkait dengan obat-obatan, Melisa menyatakan itu gratis
kalau pihaknya ada stok. "Sebenarnya kwa itu PNBP itu cuma 30 ribu, 10
ribu itu kita pakai untuk babeli obat-obatan ABK. Karena lain kali kalo stok
obat habis, kita yang beli akang padorang pake doi sisa tadi itu," pungkas
Melisa.
Sekedar diketahui, berdasarkan data Dinas Perikanan dan
Kelautan setempat, di Bolsel ada 48 pajeko. Sekira 33 pajeko merupakan pajeko
yang aktif melaut. *
Komentar