Ditinggalkan Suami, Ibu Tiga Orang Anak Cari Keadilan di DP3A dan Polda


Manado, MS

Rumah tangga Juwita Sumilat (28) di ujung tanduk. Ibu bersama dengan tiga orang anaknya ini, ditinggalkan suaminya Dumran Duma (30) yang pergi dan menikah lagi di kampung halamannya, Gorontalo.  Kekecewaan wanita asal Desa Tonsewer, Kecamatan Tompaso Barat, Kabupaten Minahasa, ini pun membumbung. Upaya mencari keadilan kemudian dilakukannya dengan mengadu ke kantor Layanan Pengaduan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) serta Kepolisian Daerah (Polda) Sulut. 

Juwita menjelaskan ia bertemu dengan suaminya di tempat kerja sebagai pegawai koperasi tahun 2011. Pasangan beda agama ini kemudian pada tahun 2013 memiliki anak namun belum terikat pernikahan. Mereka kemudian menikah nanti pada tahun 2018 secara Kristen mengikuti pihak wanita. Hanya saja, semenjak tinggal bersama, Dumran nampak tidak pernah serius mengurus surat-surat sah khususnya yang berkaitan dengan pencatatan sipil. Sehingga pernikahan mereka hanya baru dibuat di lembaga agama saja. "Itu kan dia harus ambil dulu surat dari capil yang ada di Gorontalo baru kemudian di bawah ke Minahasa untuk pindah domisili. Sehingga surat-surat yang lain akta perkawinan sudah bisa diurus. Tapi dia (Dumran suaminya, red) selalu  beralasan. Entah berdalih atau bagaimana. Padahal dia sering pulang ke Gorontalo. Pada waktu dia pulang saya tanya kong bagimana jo tu surat, dia bilang stengah mati dorang mo kase kaluar," ungkap Juwita, Selasa (8/3) kemarin.

Suatu waktu suaminya berkata akan pergi bekerja. Juwita berpikir hanya di sekitar Sulut. Namun ternyata laki-laki tersebut sudah pulang ke Gorontalo. Selang waktu berjalan, Juwita mendapat info suaminya akan menikah ulang. "Kita sementara hamil kong dia pergi. Torang tidak ada masalah rumah tangga. Torang masih baku kabar biasa, nanti dapa tau dari facebook somo antar harta dapa mulai dari situ komunikasi tidak berjalan," ungkapnya. 

Juwita sudah sebelum suaminya menikah sudah melakukan upaya mediasi dengan pergi ke Gorontalo. Saat itu bertemu juga dengan ayahanda atau hukum tua yang ada di Atinggola, Gorontalo. Di pula sudah tau laki-laki itu sudah mempunya istri namun mereka tetap menikahkan keduanya. "Ayahanda bilang dorang tetap so musti kase kaweng pa dorang dua. Toeang sempat kirim surat pembatalan nikah ke ayahanda. Cuma tetap dorang kase kaweng," jelasnya. 

Harapannya ada sikap baik dan pertanggungjawaban suaminya Dumran terhadap keluarga mereka. Terutama kepada anak-anak. "Kita hanya ingin menuntut anak-anak pe keadilan," ungkapnya. 

Sementara, pihak OBH Pro Eklesia, Rolly Toreh SH selaku kuasa hukum Juwita menyampaikan, mereka sudah melakukan pengaduan di kantor Layanan Pengaduan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3A Provinsi Sulut yang berada di Tikala, Kota Manado, kemarin. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu jauh akan dikakukan kajian psikologis terhadap anak-anak dan ibu Juwita sendiri. Kemudian melakukan kunjungan ke Polda Sulut namun belum diterima. "Dari konsultasi ke bagian  polda bahwa ibu Juwita harus mengurus beberapa dokumen, jadi laporan belum diterima," ungkapnya. 

Lembaga terakhir yang akan dikunjungi yakni Kementerian Agama (Kemenag). Ini untuk kroscek dan mempertanyakan kenapa si terlapor atau suami dari ibu bisa langsung diterima proses nikah secara Islam oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara. Mereka akan mempertanyakan pengurusan adminstrasi di sana karena ibu Juwita punya hak membatalkan pernikahan sebab tahun 2018 tanggal 9 Desember mereka sudah nikah di Gereja KGPM Tonsewer. "Yang anehnya tanggal 19 Februari 2022 suaminya sudah melakukan pernikahan di Gorontalo sementara masih terikat pernikahan dengan ibu Juwita, ia meninggalkan anak berusia 8 bulan, 7 tahun dan 9 tahun," ungkapnya. 

Ditegaskan Rolly, keberadaan mereka untuk memberikan rasa keadilan bagi pengadu. Agar sang suami untuk memberikan perawatan dan pengasuhan bagi anak-anak. "Karena tidak menutup kemungkinan kalau dia merasa sebagai suami yang sah dia harus mengedepankan kebutuhan perawatan anak-anak. Tapi kalau sudah nikah dengan orang lain maka itu dipertanyakan bagaimana sehingga ibu sekarang menuntut keadilan. Kalau suaminya tidak mengindahkan maka kami akan tuntut secara pidana dan perdata. Pidana ada dugaan pemalsuan, KUA Atinggola menerbitkan buku nikah sementara dia masih terikat pernikahan dengan ibu Juwita. Kalau perdata ada tuntutan ganti rugi," tegasnya. 

Sementara itu, Ketua Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP KPK), Caroline Joel yang ikut mendampingi berharap, jangan ada lagi kasus-kasus seperti Juwita. Dirinya meminta kepada pemuka agama ke depan ketika menikahkan legal standingnya harus jelas. Supaya tidak terjadi lagi seperti ini. "Dampaknya ke anak-anak. Jujur saya merasa menangis," ucapnya. 

Roy Liow Ketua Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Kota Manado menyampaikan, sangat menyayangkan kasus-kasus yang terjadi saat ini layaknya yang dialami ibu Juwita. Tepatnya di Hari Perempuan Nasional ini, kasus ibu Juwita dinilainya sebagai sebuah pelajaran. "Semua punya hak yang sama di depan hukum. Kami Pospera akan tetap terus mendampingi proses hukum dan administrasi. Presiden Jokowi (Joko Widodo) diharapkan dapat membuat langkah-langkah agar tidak terjadi serupa ibu Juwita yang lain di Kota Manado dan Indonesia. Ini suatu bagian yang perlu kita selesaikan bersama-sama dari segi hukum dan memberikan keadilan bagi mereka," tuturnya. (arfin tompodung)


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting