JAKARTA BERPOTENSI TENGGELAM
Jakarta, MS
Ibukota
Jakarta kian berbeban. Belenggu masalah terus merongrong. Belum tuntas dengan
penanganan Covid-19, Kota Metropolitan diprediksi tenggelam dalam beberapa
tahun ke depan.
Perkiraan ini
bukan hanya diendus para ahli di Tanah Air. Forum internasional pun telah
memperguncingkan problematika yang akan dihadapi ibukota negara Indonesia itu.
Bahkan,
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, angkat suara. Menurut Biden, jika
proyeksi itu benar, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta akan tenggelam dalam 10
tahun ke depan. Indonesia menurut Biden, harus segera memindahkan ibu kotanya.
Pernyataan
itu disampaikan Biden di depan para pemimpin badan intelijen di AS, saat mengunjungi
Kantor Direktur Intelijen Nasional, akhir Juli lalu. "Tapi apa yang
terjadi - apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10
tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan
berada di bawah air?" kata Biden.
Pernyataan
orang nomor satu di Negeri Paman Sam ini langsung memantik reaksi publik tanah
air. Kepala Laboratorium Geodesi ITB, Dr Heri Andreas, yang meneliti penurunan
tanah di pesisir Jakarta sejak 1997, menilai pernyataan Biden itu bagus untuk
meningkatkan kesadaran semua pihak.
Sejak
1970-an, kata dia, tanah di pesisir Jakarta memang terus menurun. Pada
2007-2011, laju penurunan mencapai 10-20 sentimeter per tahun. Akibatnya,
sekitar 14 persen di Jakarta Utara sudah di bawah laut. Tapi kemudian
pemerintah membangun tanggul dan meninggikan infrastruktur di kawasan tersebut.
"Pada 2007, itu terjadi banjir rob besar yang belum pernah terjadi
sebelumnya," ujar Heri, seperti dikutip dari detikcom, Rabu (4/8).
Menurut dia,
kalau Jakarta tak segera membangun pelindung berupa tanggul laut atau pantai,
14 persen wilayah pesisir itu akan tergenang secara permanen. Manfaat tanggul
sejatinya tidak hanya menyelamatkan wilayah pesisir Jakarta Utara, seperti
Muara Karang, Muara Baru, dan sekitarnya dari ancaman tenggelam. Wilayah Gunung
Sahari, Pluit, dan Ancol pun bisa jadi lautan. "Karena infrastruktur di
pesisir ditinggikan dan pembuatan tanggul akhirnya sekarang di Gunung Sahari
dan Pluit tidak jadi laut," ucapnya.
Dia pun
membeber tujuh faktor yang biasa menjadi sebab terjadinya penurunan tanah. Heri
menduga, eksploitasi air tanah menjadi penyebab utama. "Sebenarnya di luar
negeri juga sudah banyak kasus serupa akibat eksploitasi air tanah. Cuma di
kita masih jadi perdebatan karena data pengukuran belum ada sehingga baru
hipotesa sehingga kalau nanti sudah ada data ke jawab bahwa eksploitasi air
tanah itu faktor penting lah," beber Heri.
Ia pribadi
mengajukan solusi manajemen penggunaan air tanah dengan mendaur ulang atau
menyulih air laut sebaiknya cepat ditempuh. Tapi disadarinya hal ini butuh
waktu lama karena menyangkut perubahan budaya masyarakat. "Karena itu di
negara lain, seperti Jepang, menyiasati ancaman rob ini prioritasnya adalah
membangun tanggul. Baru kemudian memperbaiki manajemen penggunaan air
tanah," papar Heri.
Pun begitu,
Heri menepis pernyataan Presiden AS Joe Biden bahwa Jakarta akan tenggelam
dalam 10 tahun ke depan. Sebab dari kajiannya, laju penurunan permukaan tanah
di Jakarta sudah melandai. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan itu, kata Heri, justru
terjadi di Pekalongan, Semarang dan Demak.
Jika dalam
10 tahun ke depan tidak ada upaya manajemen risiko yang baik, ia melanjutkan,
prediksi tenggelamnya wilayah-wilayah ini akan lebih pasti dibandingkan
Jakarta. "Kalau Jakarta sih tidaklah. Pernyataan Presiden Biden itu bagus
untuk penyadaran kita," lugasnya.
Sebelum
Presiden AS, The National Aeronautics and Space Administration (NASA), juga menilai
Jakarta sangat berisiko dan rentan tenggelam jika melihat perkembangannya. Itu
diungkapkan NASA pada laman resminya, tengah tahun. Penyebabnya, kombinasi
banyak faktor, perubahan iklim, jumlah penduduk yang terus bertambah, juga eksploitasi
air di ibu kota RI itu. "Dengan meningkatnya suhu global dan pencarian
lapisan es, banyak kota pesisir menghadapi risiko banjir yang semakin besar.
Itu dikarenakan kenaikan permukaan air laut," tulis NASA.
Rata-rata
permukaan laut global naik sebesar 3,3 milimeter per tahun. Sudah begitu, hujan
semakin intens dengan atmosfer yang makin memanas. Selain itu, turunnya
permukaan tanah Jakarta juga dipercepat oleh urbanisasi, perubahan fungsi
lahan, dan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Menyempit atau tersumbatnya
saluran sungai dan kanal oleh sedimen dan sampah juga turut mempercepat
penurunan tanah Jakarta.
NASA juga
menyebut Jakarta berpotensi tenggelam karena adanya penyedotan air tanah secara
ekstrem. Akibatnya, 40 persen permukaan tanah di Jakarta berada di bawah
permukaan laut saat ini.
Merespons
hal ini, Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta Ahmad Riza Patria memastikan
pihaknya tak akan melakukan pembiaran. "Tentu kita menghormati pernyataan
presiden AS Joe Biden. Tapi kami Pemprov DKI akan berupaya supaya Jakarta tidak
tenggelam," kata Riza kepada wartawan, Senin (2/8).
Politikus
Gerindra itu kemudian menyinggung sejumlah program yang dicanangkan Pemprov DKI
untuk mengantisipasi tenggelamnya Ibu Kota. Salah satunya, pembangunan giant
sea wall atau tanggul laut raksasa di Jakarta.
MEGAWATI LAPOR JOKOWI
Pernyataan
Presiden Joe Biden tentang potensi Jakarta tenggelam telah mendapat atensi banyak
pihak. Bahkan, Presiden ke-5 Republik Indonesia (RI) Megawati Soekarnoputri,
ikut menimpali. Dia mengaku sudah berbicara terkait hal tersebut sejak ia
menjadi Wakil Presiden (wapres).
"Banyak
orang kok belum berpikir seperti saya, saya sendiri yang bingung kok. Padahal
saya mulai ngomong dari sejak Wapres saya. Tidak ada seperti Jakarta, nuwun
sewu, Pak Basuki kemarin juga ikut ngomong, Jakarta ini makin hari makin turun.
Why karena tanahnya poros, terus disedoti aire maka ada interupsi air laut. Nah
gak ada yang mikir kalo ambruk piye," kata Megawati, dalam acara virtual
bertajuk Pelatihan Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami, Rabu (4/8).
Selain itu, Megawati
mengungkap sudah berulang kali berbicara tentang potensi akan tengglamnya
Jakarta. Ia menyebut Jakarta bukan tenggelam, tetapi air lautnya naik ke
permukaan.
"Saya
udah ngomong sampai cape dari zaman Sutiyoso kalau ga salah. Gedung-gedung di
Thamrin-Sudirman pokoknya yang high rise building tolong disidak apakah dia
sudah pake sistem tahan gempa bangunan. Saya ndak tau karena saya ndak punya
kewenangan kok sidak-sidak itu. Lalu kalo mau turun pake opo. Itu kan sangat
remeh temeh toh tapi menolong manusia," jelas Ketua Umum (Ketum) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Ia
mengungkap, setelah mendengar pernyataan Presiden Amerika Joe Biden berbicara
terkait prediksi Jakarta tenggelam langsung menghubungi Presiden Jokowi. "Denger
Joe Biden ngomong gitu 10 tahun lagi, batin saya enak banget loh. Saya mikir
langsung ngomong sama Pak Jokowi itu Presiden Amerika loh bagus dia bisa ngomong
kaya gitu karena biasanya orang kita baru dengerin kalau orang asing ngomong,
kalau pemimpinnya dewe ngomong dibully-bully dibilang begini lah begono lah,
piye betul atau tidak," ungkapnya.
Lanjut
Megawati, orang-orang banyak yang salah
paham dengan prediksi Jakarta tenggelam, sebab menurutnya bukan pulaunya yang
tenggelam tetapi air lautnya yang naik ke permukaan. "Apakah yang harus
kita lakukan, itu sudah saya laporkan ke presiden, presiden udah denger apa
belum ya ada berita kaya gini, terus kita kok suruh cepat-cepat pindah ke
Kalimantan itu untuk Ibu Kota baru. Kalau enggak ini monggo gak, gimana coba
kalau kita foto nih sekarang ini dan orang mikir nya itu pulaunya yang
tenggelam, padahal pulaunya yang di situ yang disasternya lah naiknya air laut,
orang banyak ini mikirnya pulau-pulau kita ini tenggelam, bukan salah katanya
memang opo yo bingung saya sendiri. Pulaunya stay, ada air lautnya yang
naik," urainya.
Oleh karena
itu, Mega mengatakan sejak zaman dia menjabat sebagai Wapres telah banyak berbicara
tentang ancaman bencana. Ia mencontohkan saat ini banyak berita tentang China
yang diterjang banjir. "Sekarang kita lihat di Tv China banyak sekali
mengalami banjir, Eropa mulai seperti itu. Itu bukan karena hanya sungainya
meluap tetapi ketika sungai meluap air laut itu naik jadi si air sungai tidak
bisa ke muara , jadi airnya kan tak terhempat, air lautnya masuk ngikut lah,
itu lah supaya mengerti," ujarnya.
Oleh
karenanya Mega mengaku sering dianggap sebagai konsultan bencana. Namun tak
pernah dibayar atas jasa konsultan itu.
"Mengatasinya
piye itu kan harus diukur harus diubah, saya bicara ke Presiden kalau bapak ngomong
new normal antara lain urusan mengikuti bencana-bencana ini, monggo dipikir.
Lah saya kan cuma sorangan mbak, Pak Henri (Kabasarnas) saya sendiri,"
ujarnya.
"Saya
sendiri makanya saya bilang kok lama-lama saya kok jadi konsultan ya, saya
guyon sama pak Sekjen, kok aku iki jadi kok jadi konsultan tapi ga dibayar,
hanya untuk apa pak menggembirakan saya sendiri karena apa ini kewajiban saya
sebagai warga Indonesia saya gamau negara ku kelelep," imbuhnya.
‘PENYAKIT’ JAKARTA BISA TENGGELAM
Prediksi
Jakarta bakal tenggelam mulai ‘dikuliti’. Ahli pun mengungkap ‘penyakit’ yang
dinilai menggerogoti ibukota negara.
Dikutip dari
detikcom, Rabu (4/8), Kepala Laboratorium Geodesi ITB, Dr Heri Andreas
menjelaskan, secara alamiah, topografi Jakarta melandai ke arah utara. Kini 14
persen wilayah Jakarta sudah di bawah laut.
Lanjut dia,
keadaan Jakarta sebenarnya sudah cukup membaik karena adanya pembangunan
tanggul. Namun tentu saja bukan menjadi solusi abadi, karena kenyataannya
Jakarta masih mengalami banjir.
Heri
mengatakan bahwa dirinya sudah mengamati penurunan tanah Jakarta-Bandung sejak
20 tahun yang lalu. Sebagai mahasiswa saat itu, dirinya memiliki kewajiban
untuk melakukan pengukuran tanah setiap tahun. "Rob Jakarta itu datang
tahun 2007," katanya.
Ada 7
penyebab terjadinya penurunan tanah, yaitu kompaksi alamiah, beban urugan dan
infrastruktur, eksploitasi air tanah, efek tektonik, eksploitasi minyak dan
gas, geothermal dan pengeringan lahan gambut. Untuk kompaksi alamiah dan beban
urugan infrastruktur sendiri akan memberi penurunan tanah 1-2 cm per tahun.
"Kalau
kompaksi dan beban bangunan itu penurunannya 1-2 cm, di Jakarta itu sempat
10-20 cm. Berarti arahnya ke eksploitasi air tanah," jelasnya.
Di luar
negeri sendiri hal ini sudah sering terjadi. Namun untuk kasus Indonesia agak
miris, karena tak adanya pendataan lebih jauh untuk solusi jangka panjang.
Akhirnya, mau tak mau biaya penanganan ini menjadi bengkak.
"Konsekuensi
dari banjir rob di seluruh pesisir Indonesia itu butuh lebih dari Rp 1.000
triliun untuk penanganannya," ungkapnya.
Heri
menjelaskan bahwa setelah tanggul, Jakarta harus mulai menggunakan water
management. Solusi ini adalah jawaban permanen dengan biaya penanganan yang
lebih murah.
"Tapi
water management butuh waktu, sementara potensi bencananya sudah di depan mata.
Tanggul tidak akan terhindarkan, habis itu dilanjutkan water management,"
jelasnya.
Fakta
menariknya, akibat dari penurunan tanah di Jakarta adalah menambah luasan
banjir hingga 200 persen dari 3.000 menjadi 9.000 hektar. Namun karena belum
adanya data pasti tentang penggunaan air tanah, penanganan pun belum bisa
dilakukan. "Tetapi pemerintah belum memahami kondisi ini, kita juga
membicarakan hal ini belum kena. Apakah harus Joe Biden?" tutur Heri.
Dibanding
Jakarta, ternyata kondisi penurunan tanah di kawasan pesisir Pekalongan,
Semarang, dan Demak lebih mengkhawatirkan. Setiap tahun penurunannya sekitar
15-20 cm. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Diponegoro (Undip) Prof Dr Denny Nugroho Sugianto, ST MSi menyebut, prediksi
itu diperkuat dengan hujan yang memicu banjir di Kota Semarang awal tahun lalu.
"Jadi
bisa lebih cepat dari 50 tahun. Yang tergenang itu sekarang di daerah Semarang
Utara itu, di Tugu juga sudah mulai parah, perbatasan dengan Demak juga,"
kata Denny yang juga peneliti senior di Pusat Kajian Mitigasi Bencana dan
Rehabilitasi Pesisir (PKMBRP) Undip, Rabu (4/8).(detikcom)
Komentar