UJIAN NASIONAL 2021 DITIADAKAN


Jakarta, MS

Arah kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia (RI) terkait Ujian Nasional (UN) Tahun 2021 diambil. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, secara resmi memutuskan peniadaan pelaksanaan tes tersebut bersama ujian kesetaraan. Ragam tanggapan pun ikut mengiringi.

Penetapan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan serta Pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). SE itu ditandatangani Mendikbud Nadiem pada 1 Februari 2021 dan ditujukkan kepada gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia.

Dalam SE Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tercantum keputusan meniadakan UN dan ujian kesetaraan tersebut berkenaan dengan penyebaran Covid-19 yang semakin meningkat. Dengan demikian perlu dilakukan langkah responsif yang mengutamakan keselamatan dan kesehatan lahir batin peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan. Dengan ditiadakannya UN dan ujian kesetaraan tahun 2021, maka UN dan ujian kesetaraan tidak menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. "Berkenaan dengan penyebaran Corona Virus Disease yang semakin meningkat maka perlu dilakukan langkah responsif yang mengutamakan keselamatan dan kesehatan lahir dan batin peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan," bunyi SE yang diteken Nadiem pada 1 Februari 2021 itu.

Sementara itu, ada tiga hal yang menjadi persyaratan kelulusan peserta didik dari satuan/program pendidikan. Pertama, peserta didik menyelesaikan program pembelajaran di masa pandemi Covid-19 yang dibuktikan dengan rapor tiap semester. Kedua, peserta didik memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik. Ketiga, mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.

Ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan (ujian sekolah) sebagai penentu kelulusan peserta didik bisa dilaksanakan dalam bentuk portofolio, penugasan, tes luring atau daring atau bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan satuan pendidikan. Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap/perilaku dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, misalnya penghargaan, hasil perlombaan dan sebagainya.

Ketentuan tersebut berlaku juga untuk ujian sekolah yang berfungsi sebagai ujian kenaikan kelas. Sekolah dapat menyelenggarakan ujian akhir semester yang dirancang untuk mendorong aktivitas belajar yang bermakna dan tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh.

Kemudian khusus untuk jenjang sekolah menengah kejuruan (SMK), peserta didik SMK dapat mengikuti uji kompetensi keahlian (UKK) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Semua ketentuan dalam SE tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.

Diketahui sebelumnya, wacana peniadaan UN tahun 2021 ini sudah nyaring digaungkan sebelum pandemi mewabah. Bahkan seiring berjalannya waktu, pemerintah lewat Kemendikbud pada tahun 2020 telah berencana untuk menggantinya dengan Asesemen Nasional (AN). Ketika itu Mendikbud Nadiem memberikan penegasan, kalau UN akan diganti dengan AN pada 2021. Baginya, AN tidak hanya dirancang sebagai pengganti UN dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional tetapi juga sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan. Lewat hal ini, tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu akan tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses dan hasil.

"Potret layanan dan kinerja setiap sekolah dari hasil Asesmen Nasional ini kemudian menjadi cermin untuk kita bersama-sama melakukan refleksi mempercepat perbaikan mutu pendidikan Indonesia," kata Nadiem seperti dalam laman www.kemdikbud.go.id yang dikutip, Jumat (9/10/2020) lalu.

Dijelaskannya, AN ini terdiri dari tiga bagian yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter dan survei lingkungan belajar. AKM nantinya untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif yaitu literasi dan numerasi. Kedua aspek kompetensi minimum ini, menjadi syarat bagi peserta didik untuk berkontribusi di dalam masyarakat. Itu terlepas dari bidang kerja dan karier yang ingin mereka tekuni di masa depan.

Kemudian survei karakter, yang dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar sosial-emosional berupa pilar karakter untuk mencetak Profil Pelajar Pancasila. "Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME (Yang Maha Esa) serta berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis dan kreatif,” jelas Nadiem.

Sedangkan survei lingkungan belajar, nantinya untuk mengevaluasi dan memetakan aspek pendukung kualitas pembelajaran di lingkungan sekolah. AN 2021 dilakukan sebagai pemetaan dasar (baseline) dari kualitas pendidikan yang nyata di lapangan sehingga tidak ada konsekuensi bagi sekolah dan murid. "Hasil Asesmen Nasional tidak ada konsekuensinya buat sekolah, hanya pemetaan agar tahu kondisi sebenarnya," urai Nadiem.

 

DISDIK DAERAH BERI RESPON

Respon daerah terhadap putusan Mendikbud untuk meniadakan UN di tahun 2021 meletup. Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Surabaya langsung nyatakan sikap. Langkah penyesuaian dengan kebijakan pusat pun bakal diambil.  

Kepala Disdik Kota Surabaya, Supomo mengatakan, pihaknya menyesuaikan aturan dari kemendikbud. Sebelumnya diakui dia, tahun 2020 UN juga ditiadakan karena penyebaran Covid-19. Sementara 2021 dipertegas dengan adanya surat edaran (SE) dari Kemendikbud. "Setelah kami membaca SE terbaru, kami menyikapi sesuai dengan amanah tersebut. 2021 ini sudah ada jelas. Saya belum mengikuti perkembangan perubahan, sudah jelas tahun ini tidak ada UN, diganti model assesment yang dilakukan masing-masing sekolah," kata Supomo, di ruang kerjanya, Kamis (4/2).

Supomo menjelaskan, assesmen yang sudah dilakukan sekolah, itu kemudian dilaporkan kepada Disdik. Selanjutnya dilakukan evaluasi. "Karena apa pun itu, kita masih di rangka penerimaan siswa baru, masih pakai jalur prestasi. Ini dipikirkan, jangan sampai terjadi penilaian-penilaian yang membuat satu dan yang lain sekolah tidak sama. Kemudian dasar penentuan penerimaan siswa baru khususnya jalur prestasi terkoordinasi baik," jelasnya.

Nantinya, tambah dia, akan ada tim yang membuat format standarisasi dan kemudian dilakukan evaluasi. Sebab sekolah di Surabaya tidak sedikit maka evaluasi akan dilakukan secara bertahap dari masing-masing sekolah. "Tim tidak langsung mendatangi semua sekolah. Akan dibuat pola, semua akan mendapatkan evaluasi sama dari kegiatan assesmen," ujarnya.

Ujian sekolah lainnya diakui Supomo, telah berjalan. Seperti ujian tengah semester (UTS), ujian akhir semester (UAS) dan ujian tambahan lainnya. Ia menegaskan, assesmen ini sejenis dengan ujian yang terakhir untuk anak-anak sekolah. "Ada penilaian perilaku, lengkap, assesmen seperti demikian. Karena ini barang baru maka kemudian kita harus benar-benar bisa menterjemahkan ini, sehingga tidak ada yang tidak pas dalam penilaian anak-anak kita dalam assesmen," katanya.

"Tahun lalu sistemnya dengan rapot semester sekian sampai sekian, muncul rata-rata nilai. Itu digunakan sebagai dasar kelulusan tahun kemarin, karena kita tidak bisa menggunakan ujian nasional kemarin," tambahnya.

Sementara tahun 2021 ini, kelulusan juga dinilai dari perilaku. Baginya, dalam menilai perilaku bukan selalu dilihat secara langsung, melainkan dari perilakunya dalam pembelajaran. "Kan bisa pengertian perilaku tidak mengamati secara fisik, tapi kesehariannya, kok tidak ngumpulin tugas, harus dikejar, itu sudah perilaku. Ketika daring kok ikut pertama tok, lalu ditinggal main itu bentuk perilaku. Tidak harus melakukan tatap muka. Ya kita bisa melakukannya dengan adanya kondisi terbatas ya hanya itu," pungkasnya.

 

PGRI LAYANGKAN REAKSI KRITIS

Kebijakan pemerintah meniadakan UN tahun 2021, mendapat tanggapan kritis pihak guru. Utamanya dari kalangan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Penghapusan ujian kelulusan kemudian menggantinya dengan penilaian sekolah, dipandang bisa menimbulkan persoalan lain.

Ketua PGRI Jatim Teguh Sumarno kepada detikcom, Kamis (4/2) mengatakan, sebenarnya memang rencana peniadaan UN tersebut sudah berlangsung sejak lama. “Sebenarnya ide-ide ingin menghilangkan UN itu sudah 10 tahun terakhir ini sudah muncul. Baik itu di Komisi X bidang pendidikan, menteri-menteri kemarin. Bahkan itu sudah masuk ke dalam ranah pemikiran Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla kala itu," ujarnya.

Meski begitu, Teguh mengakui persoalan UN memang pelik. Sebab secara Undang-Undang, UN diperbolehkan ditiadakan. Namun di sisi lain, secara teknis standar pendidikan nasional antar daerah terdapat perbedaan. "Memang secara Undang-undang diperbolehkan konsep sekolah ini memberikan kelulusan sendiri seperti diharapkan pak menteri sekarang," jelas Teguh.

"Tapi secara teknis bagaimana assessmen yang dikehendaki pak menteri sekarang ini kan ini repot. Karena standar pendidikan nasional antara kabupaten kota dan pedalaman kan berbeda. Nah itu yang menjadi sulit," imbuhnya.

Teguh menyebut, ada dua dimensi yang menjadi permasalahan selama ini terkait peniadaan UN. Menghilangkan UN atau tidak, keduanya dinilai sama-sama mempunyai problematiknya sendiri. "Jadi gini, ada dua dimensi yang menjadi menarik. Kita tidak sepakat UN itu karena standar secara nasional tidak ada. Sehingga anak-anak dalam menghadapi UN ini santai-santai saja. Karena yang menentukan lulus ini kan sekolah dan gurunya. Kalau sekolah dan guru ini kan selalu membela kepentingan anak-anaknya lulus," terangnya.

"Tetapi kita sepakat dihilangkan secara nasional karena UU itu mengisyaratkan dalam rangka assessmen dalam rangka kelulusan anak itu ditentukan sekolah. Sehingga di sini memunculkan kedaulatan sekolah secara riil," tandas Teguh.  (liputan6/tribun/detik/kemdikbud)

 

 


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting