PILKADA SERENTAK 2020 RAWAN


Jakarta, MS

Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2020, ditakar. Di tengah kondisi bangsa yang kritis akibat pademi Covid-19, sederet persoalan meneror pesta demokrasi di 270 daerah. Adalah penularan virus Corona, potensi konflik hingga tindak pidana korupsi.

Hal itu memantik respon kritis berbagai elemen bangsa. Dorongan supaya pelaksanaan pilkada diawasi ketat, mengemuka. Seluruh sumber daya di bidang pegawasan pilkada, pemerintah bahkan masyarakat umum harus digerakkan. Pilkada damai dan sehat jadi target.

"Pelaksanaan Pilkada memang dilematis karena di satu sisi kesehatan rakyat menjadi prioritas utama. Namun di sisi lain Pilkada harus tetap dilaksanakan sebagai sarana sirkulasi elit politik," terang Direktur Eksekutif Indonesian Democratic (IDE) Center, David Kaligis di Jakarta, Senin (26/10) kemarin.

Ia menyatakan beberapa hal yang harus serius diperhatikan berkaitan penyelenggaraan Pilkada 2020 dan tidak bisa dianggap remeh. Pertama, kata David, rezim hukum pemilu dalam Pilkada tidak akan berjalan efektif. Ia menilai situasi itu bisa berujung pada konflik di tengah masyarakat dan melahirkan derasnya gugatan.

Kedua ialah potensi terjadinya electoral frauds atau penyimpangan pada proses pelaksanaan Pilkada 2020. Penyimpangan diperkirakan terjadi baik secara kasuistik maupun sporadik, bahkan dapat berkembang menjadi masif.  Dia mencontohkan dalam pemungutan suara pada 9 Desember 2020, masyarakat yang akan hadir ke TPS harus mematuhi protokol kesehatan, seperti menjaga jarak. David menyatakan antrean bisa terjadi dan durasi pemungutan suara pun berjalan lama. Dampaknya, tenaga penyelenggara di tingkat bawah bisa terkuras dengan mundurnya waktu di TPS. Kelelahan dan potensi kelalaian bisa terjadi dan tidak menutup kemungkinan tragedi penyelenggara yang tewas akibat kelelahan di Pemilu 2019 terulang kembali.

Ketiga, ruang gerak yang terbatas bagi pengawas pemilu karena ada pandemi Covid-19 menjadi peluang oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melanggar aturan. "Ketidakpuasan atas kekalahan karena cacatnya penyelenggaraan Pilkada dapat mengakibatkan pengerahan massa untuk menuntut keadilan elektoral," tutur David.

Keempat, persoalan hak pilih masyarakat di Pilkada 2020 harus dijadikan perhatian bersama. Begitu juga dengan daftar pemilih tetap. "Di saat normal saja surat undangan pemilih, yakni form C6 banyak yang tidak sampai ke tangan pemilih atau ditimbun oleh oknum-oknum tertentu, apalagi di tengah Pandemi," ujar David.

Sementara itu, ‘kerawanan’ lain di pilkada juga diendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK Firli Bahuri mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada.

Menurut dia, berdasarkan hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur. Hasil survei KPK menemukan, sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta.

Padahal, berdasar wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10 miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp65 miliar.

BAWASLU BEBER DAERAH RAWAN KONFLIK, POLRI SIAGA

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebutkan, 47 dari 270 daerah yang akan menggelar hajatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 memiliki risiko konflik paling tinggi.

Merujuk laporan per Juni 2020, Bawaslu menyatakan dua indikator konflik yang berpotensi muncul selama proses tahapan Pilkada 2020 sebelum hari pencoblosan 9 Desember. Dua indikator itu yakni, gangguan keamanan, dan kekerasan atau intimidasi terhadap penyelenggara Pemilu.

Di tingkat Kabupaten/Kota, Bawaslu menyebutkan, ada 40 dari total 261 daerah yang dinilai memiliki risiko konflik paling tinggi selama proses tahapan Pilkada. Beberapa di antaranya yakni, Kabupaten Bandung, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Sleman, Kabupaten Lamongan, hingga Kabupaten Manokwari. Sedangkan di tingkat provinsi, laporan Bawaslu menyebutkan sebanyak tujuh dari total sembilan wilayah penyelenggara Pemilu 2020 dinilai memiliki risiko atau potensi konflik paling tinggi. Sedangkan dua sisanya masuk dalam kategori risiko konflik rendah.

Tujuh provinsi itu yakni, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, dan Bengkulu. Sedangkan dua sisanya yakni Kalimantan Utara dan Kalimantan Tengah.

Bawaslu secara umum merilis daftar sejumlah wilayah penyelenggara Pilkada 2020 dalam beberapa indikator kerawanan. Selain potensi konflik, sejumlah kategori lain yakni politik, infrastruktur dan risiko penularan Covid-19.

Pada aspek politik, beberapa indikator kerawanan pada sejumlah daerah itu, seperti potensi potensi keberpihakan penyelenggara Pemilu, rekrutment penyelenggara pemilu bermasalah, ASN tidak netral, hingga penyalahgunaan anggaran. Pada tingkat kabupaten kota, Bawaslu mencatat setidaknya 50 dari total 261 daerah dinilai rawan praktik kecurangan Pilkada. Sejumlah wilayah yang memiliki risiko tinggi pada aspek ini, seperti Kota Makassar, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Klaten, hingga Sijunjung. Di tingkat provinsi, ada Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, hingga Kepulauan Riau.

Adapun di aspek infrastruktur, sebanyak 117 dari total 144 Kabupaten Kota disebut belum memiliki infrastruktur layak untuk penyelenggaraan Pilkada. Indikator kelayakan diukur mulai dari dukungan teknologi informasi dan sistem informasi penyelenggara Pemilu. Beberapa kabupaten kota yang dinilai belum memiliki kelayakan ini umumnya berada di wilayah Papua, di antaranya di antaranya ada Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Morowali Utara, hingga Kabupaten Siak.

Sedangkan di tingkat provinsi, sembilan atau keseluruh Provinsi disebut masuk dalam kategori tinggi sebagai wilayah paling tidak layak dari aspek infrastruktur Pemilu. Kesembilan provinsi itu yakni Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Jambi, dan Kalimantan Tengah. Itu dilansir CNN Indonesia, Rabu (16/9) sekira 19:40 WIB.

Terkait hal itu, Kapolri Jenderal Idham Azis meminta seluruh jajarannya dari tingkat Polda hingga Polres untuk tidak meremehkan potensi kerawanan selama tahapan Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono, mengatakan Idham telah memerintahkan untuk selalu siaga. "Pelibatan kekuatan dalam tiap tahapan disesuaikan dengan tingkat kerawanan dan kebutuhan masing-masing wilayah. Serta, menghindari sikap underestimate dalam menghadapi kerawanan," kata Awi, awal September.

ICW ENDUS AKSI MEMUPUK KEKAYAAN

Pertimbangan kerawanan serta potensi pelanggaran saat Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19, cetus desakan penundaan pilkada.

Seperti disampaikan Peneliti ICW Egi Primayogha. Dia berharap Pilkada Serentak 2020 ditunda. Sikap ini diambil dengan beberapa pertimbangan seperti kondisi pandemi dan kemungkinan adanya kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada. "Masih banyak pihak yang berharap agar Pilkada di tengah pandemi ditunda, termasuk di antaranya kami dari ICW. Kami sendiri dari ICW sebetulnya masih berharap dan mendorong agar pilkada di tengah pandemi ditunda pelaksanaannya," ujar Egi saat menjadi pembicara di live Facebook Sahabat ICW pada Minggu (25/10).

Menurut Egi, Pilkada Serentak 2020 dapat mempercepat laju penularan Covid-19. Hal ini dikarenakan angka kasus positif Covid-19 masih dibilang mengkhawatirkan. "Jadi tentunya kalau pilkada tetap dilaksanakan di tengah pandemi yang tidak mereda, pasti pelaksanaannya akan memperparah kasus pandemi yang sudah ada," imbuhnya.

Pelaksanaan Pilkada Serentak di tengah pandemi juga berpotensi membuat kasus-kasus kecurangan yang melibatkan Pilkada semakin marak terjadi karena pengawasannya akan melemah. ICW juga memprediksi praktik jual beli suara atau politisasi bansos akan semakin marak terjadi karena banyak masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Egi mengaku timbul kecurigaan bahwa Pilkada Serentak 2020 yang terkesan dipaksakan ini merupakan upaya dari beberapa pihak untuk memperkaya diri.

"Kalau dikaitkan dengan kondisi saat ini ramai-ramai soal UU Cipta Kerja, kami sejujurnya curiga gitu, bahwa pemaksaan pilkada di tengah pandemi adalah salah satu rangkaian, upaya dari orang-orang kuat untuk memupuk kekayaannya," katanya.

Egi juga mengungkit terkait maraknya politik dinasti yang terjadi pada Pilkada ini. Beberapa contohnya adalah anak dan mantu dari Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution yang maju sebagai calon wali kota Solo dan Medan. Ada juga anak dari wakil presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah yang maju sebagai calon wali kota Tangerang Selatan.

Diketahui, lembaga Indikator Politik Indonesia merilis survei persepsi publik apakah Pilkada 2020 harus tetap dilaksanakan atau ditunda. Hasilnya, sebanyak 50,2 persen responden menilai Pilkada harus ditunda dan 43,4 persen tetap digelar 9 Desember 2020. "Publik terbelah besar dalam menilai apakah Pilkada ditunda atau tetap diselenggarakan mengingat tidak ada kepastian kapan pandemi akan berakhir," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi dalam konferensi pers secara virtual terkait Politik, Demokrasi dan Pilkada di Era Pandemi, Minggu (25/10).

Burhanudin juga menjelaskan, wilayah yang menggelar pilkada terdapat 47,9 persen publik setuju pilkada ditunda dan 46,3 persen tidak setuju pilkada ditunda. Tetapi fenomena lain juga terlihat di wilayah yang tak menggelar pilkada, sebanyak 53 persen responden setuju pilkada ditunda dan 39,4 persen tak setuju pilkada ditunda. "Semakin tidak tinggal di daerah pilkada semakin minta ditunda. Tuntutan pilkada ditunda lebih kuat di kalangan enggak ada pilkada, mungkin mereka khawatir potensi meningkat. Tapi wilayah pilkadanya lebih siap. Masih ada 43,4% sebaiknya tidak ditunda," ungkap Burhanudin.

Diketahui survei dilakukan pada 24-30 September 2020. Menggunakan sistem wawancara telepon. Alasannya karena situasi pandemi corona. Survei menggunakan metode simple random sampling, dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak, dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020. Jumlah sampel yang dipilih secara acak melalui telepon sebanyak 5.614 data. Sedangkan, yang berhasil diwawancarai dalam durasi survei yaitu sebanyak 1200 responden. Margin of Error pada survei ini +2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.(tempo/cnn/merdeka)


Komentar

Populer Hari ini





Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting