PILKADA 9 DESEMBER DIKEPUNG MASALAH, KPU CS ‘PASANG BADAN’


Jakarta, MS

Desakan penundaan Pilkada Serentak 9 Desember 2020 kian masif. Prediksi pesta demokrasi bakal berubah menjadi ritual ‘bunuh diri’ massal mencuat. Pemerintah dan pelaksana pesta demokrasi diperingatkan.

Desakan yang datang dari sebagian elemen masyarakat ini merujuk kondisi terkini perkembangan Covid-19 di tanah air. Penambahkan kasus positif baru setiap hari dianggap mengancam keselamatan masyarakat. Di sisi lain, penanganan medis disebut-sebut belum optimal.

Lembaga medis dan kemanusiaan, Medical Emergency Rescue Committee atau MER-C Indonesia, menilai akan ada dua potensi yang muncul dalam penyelenggaraan Pilkada 2020. "MER-C menilai akan berpotensi timbul korban signifikan," tandas Presidium MER-C Indonesia, Yogi Prabowo, dalam konferensi pers, Rabu (30/9).

Potensi pertama adalah terjadinya kluster Covid-19 pada tempat pemungutan suara (TPS). Hal ini bisa diperburuk dengan belum siapnya penanganan kegawatdaruratan yang berpotensi menimbulkan korban jiwa. "Dan ini sudah terjadi pada 2019," ujarnya.

Pada Pilpres 2019 sebelum munculnya Covid-19, Yogi mengungkapkan, sebanyak 800 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan puluhan ribu jiwa jatuh sakit hingga dirawat.

 

Adapun saat ini, kondisi pandemi masih berlangsung. Yogi menilai kurva penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia belum menurun. Bahkan angka kematian sudah lebih dari 10 ribu jiwa.

Menurut Yogi, Covid-19 sudah menyasar beberapa calon kepala daerah, Ketua KPU dan para petinggi. Ia menilai kondisi ini harus menjadi catatan KPU dan pemerintah agar tidak mengabaikan nyawa manusia. "Apabila tetap diselenggarakan kami khawatir pengabaian nyawa manusia merupakan kejahatan kemanusiaan yang akan menambah catatan hitam KPU yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari," tandas Yogi.

Untuk itu, MER-C Indonesia meminta KPU dan pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada 2020. "Sedikit kami ingatkan kembali, KPU jangan lupakan kejadian tahun 2019," ucap Yogi.

Terpisah, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menilai Pilkada 2020 di tengah pandemi virus corona sama dengan ritual bunuh diri massal. Masyarakat, calon, serta penyelenggara pemilu menghadapi ancaman yang sama.

"Memaksakan pilkada bisa berubah menjadi ritual bunuh diri massal. Kita mempercayakan kepada KPU untuk melindungi pemilih, tapi dua komisioner KPU saja kena Covid-19. Dan para calon yang ingin meyakinkan kita itu ada 62 yang kena Covid-19," kata Direktur LP3ES Wijayanto dalam kajian online, Rabu (30/9).

Wijayanto mengatakan bahwa pilkada yang dipaksakan membuat ongkos politik menjadi lebih besar. Selain itu juga ada risiko terjadi penularan virus corona yang bisa berujung memakan korban jiwa. "Tidak hanya menjadi bencana kemanusiaan karena akan banyak yang meninggal, tapi juga bencana politik, dan demokrasi ini akan terkenang mundur dan dicatat sebagai momen yang gelap dalam demokrasi kita kalau banyak korban," imbuhnya.

LP3ES, kata Wijayanto, sudah mengusulkan agar pilkada ditunda. Jika pemerintah tetap ingin melanjutkan, maka LP3ES menyarankan penyelenggara pilkada untuk membuat mekanisme yang bisa meminimalisir potensi penularan seperti e-voting dan e-campaign. "Bagi calon kepala daerah, untuk mengubah pola kampanye mereka yang konvensional menjadi digital dan menghindari peluang terjadinya kerumunan," kata dia.

Wijayanto mendorong agar internet benar-benar dioptimalkan di masa pilkada saat ini. Penggunaan internet bisa mengurangi kegiatan tatap muka atau pengumpulan massa sehingga potensi penularan virus corona bisa diminimalisir.

Terlebih, sejauh ini telah ada 171 juta jiwa penduduk Indonesia yang menggunakan internet. Dia mengatakan itu merujuk hasil survei pada 2018 lalu. "Dan pertumbuhannya setiap tahun meningkat 10 persen, mungkin sudah sama dengan jumlah pemilih jangan-jangan," pungkasnya.

Guru besar dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menolak keras Pilkada Serentak 2020. Azyumardi menyatakan dia golput jika pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember 2020 mendatang. "Saya golput Pilkada 9 Desember 2020 sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat disebabkan wabah Corona atau terinfeksi Covid-19," kata Azyumardi, Jumat (25/9) lalu.

 

Azyumardi menilai jika pilkada di tengah pandemi Corona bisa membahayakan masyarakat. Dia khawatir kasus dan angka kematian karena Corona akan meningkat jika pilkada tetap digelar.

Untuk diketahui, Badan pengawas pemilu atau Bawaslu RI menyatakan ada 49 daerah penyelenggara pilkada yang terindikasi memiliki tingkat kerawanan tinggi, dalam konteks pandemi Covid-19. Indikator yang digunakan untuk mengukur kerawanan dalam konteks pandemi Covid19 ini antara lain, penyelenggara pemilu terinfeksi Covid-19, lonjakan pasien Covid-19, lonjakan pasien Covid-19 meninggal dunia, masyarakat dan tokoh masyarakat yang menolak penyelenggara pilkada di tengah pandemi serta perubahan status wilayah terkait pandemi.

Daerah-daerah dengan kerawanan tinggi dalam aspek pandemi Covid-19, di antaranya kota Depok, kabupaten Kotawaringin Timur, dan kota Bukittinggi. Kemudian kabupaten Agam, kota Manado, kabupaten Bandung, kabupaten Sintang, kabupaten Sumbawa Barat, kabupaten Bone Bolango, dan kota Bandar Lampung. Bawaslu merekomendasikan agar penyelenggaraan pilkada 2020 benar-benar harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

BAMSOET SEBUT ADA 6 HAMBATAN

Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditakar. Gelaran pesta demokrasi di masa pandemi Covid-19 diprediksi cetus potensi persoalan. Itu harus diperhitungkan dan menjadi perhatian bersama.

Demikian Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet). Dia menjelaskan terdapat enam hambatan dalam pelaksanaan Pilkada 2020.  “Dengan adanya pandemi, tentu tantangan yang dihadapi dalam Pilkada 2020 akan semakin pelik,” tutur politikus yang akrab disapa Bamsoet ini dalam webinar pada Rabu (30/9).

Tantangan pertama yang bakal dihadapi di Pilkada 2020, dia mengatakan, ialah tingkat partisipasi pemilih pasti akan mengalami penurunan drastis. Hal itu disebabkan kekhawatiran masyarakat terhadap penyebaran Covid-19 sehingga takut untuk mendatangi TPS.

Kedua, ucap dia, kemungkinan adanya pelanggaran penerapan protokol Covid-19. Ketiga, terkait turunnya kualitas penyelenggaran Pilkada 2020. Dia menilai majunya petahana yang diperkirakan mencapai angka 80 persen dikhawatirkan akan memanfaatkan berbagai program bantuan sosial sebagai alat kampanye di masa pandemi. “Di samping itu, dampak pandemi yang menghantam kehidupan perekonomian rakyat semakin meningkatkan risiko semakin meningkatkan praktik money politics (politik uang),” kata Bamsoet.

Hambatan keempat adalah tantangan untuk menyediakan dukungan sumber daya seperti alat perlindungan diri, penyediaan rapid tes, dukungan tenaga media, sarana dan prasaran penunjang yang berujung pada ketersediaan dukungan anggaran.

Adapun yang kelima ada ketidakpastian implementasi Pilkada 2020 karena masih terbuka peluang untuk menunda berdasarkan aspek hukum. Terakhir, mengenai literasi teknologi yang perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menghindari penyebaran Covid-19 pada saat pelaksanaan berbagai tahapan dalam pemilu.

KPU KONSISTEN

Tanah air riuh. Desakan penundaan pilkada serentak berbunyi nyaring. Merespon hal itu, KPU menyayangkan energi dan anggaran yang sudah dikeluarkan.

"Kami tidak menutup mata dengan masukan PP Muhammadiyah, PBNU dan juga dari NGO-NGO, dari masyarakat sipil, kita tidak menafikan itu. Tapi tentu saja dengan effort yang sudah kita keluarkan saat ini, anggaran yang begitu banyak, dan juga kemudian sampai saat ini kita sudah melakukan penyelenggaraan ini sudah sampai penetapan calon, jadi tinggal kampanye, logistik dan pemungutan dan penghitungan suara," kata Komisioner KPU Ilham Saputra, dalam diskusi virtual, Selasa (30/9).

"Sehingga jika dikatakan penundaan, maka KPU masih berharap bisa dilanjutkan, karena tadi soal effort yang sudah kita keluarkan, energi yang sudah begitu banyak kita keluarkan, juga soal anggaran dan lain sebagainya," sambung dia.

Lebih lanjut, Ilham mengatakan KPU mengupayakan menerapkan protokol pencegahan Covid-19 di tiap tahapan Pilkada. Selain itu, KPU juga sudah menerbitkan PKPU yang mengatur sanksi berupa pembubaran hingga penghentian bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19 saat kampanye.

Selain itu, KPU berharap masyarakat dan pihak lainnya juga turut berpartisipasi dalam penegakan pelaksanaan protokol kesehatan Covid-19, sehingga tak hanya KPU yang bertanggungjawab mengenai penerapan protokol kesehatan. Ia mengatakan, pemilu pelaksanaan pemilu yang berhasil di Korea Selatan salah satunya karena ada kekompakan semua pihak menjalankan protokol kesehatan yang baik. "Salah satu keberhasilan dari pemilihan umum di Korea Selatan di masa pandemi adalah karena pemerintahnya men-suport, kemudian penyelenggaranya juga patuh dengan protokol Covid-19, juga masyarakatnya. Sehingga kita bisa kemudian melakukan itu juga kalau kemudian kita punya komitmen untuk sama-sama menjalankan penyelenggaraan Pilkada ini sesuai dengan protokol pencegahan Covid-19," katanya.

Lebih lanjut, KPU akan berupaya mengurangi adanya kerumunan pada saat pelaksanaan pencoblosan Pilkada. Misalnya dengan mengatur jadwal kedatangan pemilih ke TPS. "Kita mempunyai rencana atau masih draf sebetulnya, nanti formulir undangan yang kita berikan kepada para pemilih nanti kita akan berikan jadwal waktunya. Jadi misalnya si A sampai si B itu jam 7.30 sampai jam 9, dan jam 9 sampai jam 10 si D sampai si E. Ini adalah ikhtiar kami untuk tidak adanya kerumunan, tidak adanya ramainya orang di TPS," katanya.

Selain itu nantinya antrian pemilih di TPS juga akan dibatasi tak lebih dari 1 meter, selain itu petugas pemungutan suara yang bertugas di TPS juga akan menggunakan APD lengkap. Pemilih juga akan memakai sarung tangan plastik saat memasuki bilik suara, terakhir pemilih juga akan diteteskan tinta, bukan mencelupkan jarinya ke tinta seperti pada pemilu sebelumnya.

KPU juga akan mengkaji penggunaan e-rekap atau rekapitulasi elektronik supaya mencegah adanya kerumunan pada saat rekapitulasi di tingkat kecamatan. Hal itu juga sekaligus untuk mempersingkat waktu rekapitulasi yang biasanya berjenjang, meski begitu rekapitulasi di kecamatan masih terbuka peluang karena hal itu diatur di UU Pilkada.

"Kita e-rekap itu sebenarnya untuk mengurangi, pertama hasil pemilihan ini bisa dengan cepat diketahui oleh masyarakat. Kedua kita juga menghindari rekapitulasi di tingkat kecamatan yang berpotensi akan memunculkan kerumunan," ungkapnya.

KEMENDAGRI: KITA BUKTIKAN PILKADA BUKAN KLASTER PANDEMI

Pemerintah memastikan tidak akan menunda pelaksanaan pilkada serentak. Meski begitu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta seluruh pemerintah daerah (pemda) yang menggelar Pilkada Serentak 2020 serius menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Sekretaris Jenderal Kemendagri Muhammad Hudori mengatakan, hal itu merupakan upaya pemda menjawab keraguan publik soal penyelenggaraan pilkada di masa pandemi. "Kita harus buktikan kepada masyarakat bahwa pilkada bukan klaster pandemi," kata Hudori dalam Rapat Kerja Nasional Forum Sekretaris Daerah Seluruh Indonesia Tahun 2020, Rabu (30/9).

Hudori mengatakan, ada lima hal yang wajib dilakukan pemda untuk mencapai tujuan itu. Pertama, mempercepat pencairan anggaran pilkada lewat Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

Kedua, menggencarkan sosialisasi dan simulasi protokol kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2020. Ketiga, pemda diminta menindak pelanggar protokol kesehatan selama pilkada. Keempat, pemda juga wajib menjamin ketersediaan alat pelindung diri bagi petugas pemilihan dan keamanan pilkada. Kelima, pemda wajib sosialisasi untuk menyukseskan pilkada di tengah pandemi.

 

"Sosialisasi secara masif untuk menghasilkan pilkada yang aman, lancar, demokratis, dan tidak terjadi konflik, bebas penularan pandemi Covid-19," tuturnya.

Hudori berkata pilkada kali ini merupakan agenda strategis nasional. Ia meyakini pilkada justru akan menjadi cara Indonesia melawan pandemi Covid-19. "Ujung-ujungnya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing sehingga diharapkan menghasilkan kepala daerah yang legitimate, yang punya kebijakan dan program strategis dalam penanganan Covid-19," ucap Hudori.

Diketahui, Pilkada Serentak 2020 digelar di 270 daerah. Gelaran yang dijadwalkan pada 9 Desember ini akan melibatkan sekitar 105 juta pemilih.(cnn/tempo/detik)


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting