KPK KOLEKSI RIBUAN LAPORAN GRATIFIKASI, BANSOS MENDOMINASI
Jakarta, MS
Lonceng peringatan dibunyikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ribuan laporan gratifikasi yang diterima lembaga antirasuah ini jadi penyebab. Aduan paling mendominasi terkait dengan pemberian bantuan sosial (bansos) pemerintah.
Spirit KPK dalam memberangus tindakan ‘memberi imbalan’ itu, tak pernah padam. Lembaga anti bodi tersebut, hingga kini telah mengoleksi 1.137 laporan gratifikasi. Total nominalnya mencapai Rp6,9 miliar sepanjang semester I tahun 2021.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, 309 di antaranya dinyatakan sebagai milik negara. Adapun sebesar Rp760 juta telah disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). "Sepanjang semester I 2021, KPK juga telah menerima sebanyak 1.137 laporan gratifikasi dengan total nominal Rp6,9 miliar," ujar Pahala dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu (18/8).
Pihaknya ikut pula menyoroti peningkatan kualitas layanan publik pada sektor pendidikan, anggaran, kesehatan, dana desa dan perizinan. Saat ini lembaga antirasuah mengembangkan platform Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) sebagai medium literasi publik yang menampung keluhan masyarakat terkait pelayanan publik. "Hingga 30 Juni 2021, JAGA menerima 348 keluhan terkait penyaluran bansos (bantuan social) dan banpres (bantuan presiden) produktif usaha mikro (BPUM)," kata Pahala.
Terkait bansos ada 215 keluhan. Paling banyak adalah tidak menerima bantuan padahal sudah mendaftar (104 keluhan), bantuan tidak dibagikan oleh aparat (52 keluhan) dan jumlah dana bantuan yang diterima kurang dari yang seharusnya (27 keluhan). Kemudian nama di daftar penerima bantuan tidak ada atau diduga fiktif (25 keluhan), menerima lebih dari satu bantuan (6 keluhan) dan bantuan tidak tepat sasaran (1 keluhan).
Lebih lanjut, ada 133 keluhan terkait BPUM. Keluhan yang
masuk seperti peserta tidak menerima bantuan meskipun sudah memperoleh
informasi dari bank penyalur. Lalu, peserta menerima pemberitahuan mendapatkan
dana BPUM, tetapi identitas atau data perbankan tidak sesuai. Serta informasi
untuk mendapatkan BPUM dan pertanyaan seputar bansos Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM). "Dan dana bantuan yang sudah masuk ditarik atau didebet kembali
oleh bank penyalur," ucap Pahala.
DATA DAN BANSOS BERBENTUK BARANG DIKRITISI
Pesan dikirim KPK ke Kementerian Sosial (Kemensos). Lembaga yang dipimpin Tri Rismaharini itu diminta untuk menghentikan bansos dalam bentuk barang. Sekaligus menyarankan untuk mengintegrasikan terkait dengan data penerima.
KPK menyarankan kepada Kemensos agar bantuan sosial bagi
masyarakat yang terdampak pandemi covid-19 berupa barang tidak perlu
diteruskan. Hal itu dijelaskan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala
Nainggolan, kemarin. “Seingat saya KPK bersurat ke kemensos ada dua hal. Satu
bansos model barang jangan diteruskan dan kedua kita bilang data penerima
bansos di kemensos diintegrasikan," ujarnya.
Pahala menjelaskan, integrasi data penerima bansos penting dilakukan karena pada Kemensos sendiri ada tiga pemegang data. "Pertama Ditjen PFM (Penanganan Fakir Miskin) kemensos itu pegang data PKH (Program Keluarga Harapan). Kedua Ditjen Linmas pegang data yang namanya bantuan pangan nontunai. Dan ketiga Sekjen megang data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), ini yang bantuan langsung tunai dan bantuan barang," kata Pahala.
Integrasi ini menurutnya, perlu dilakukan karena pemegang data dari ketiga pihak tersebut sudah dilakukan dari tahun ke tahun dan perlu adanya perubahan. "Jadi waktu itu ada tiga data di situ. Dari zaman menteri yang lama ini digabung, karena kita yakin dalam datanya ini sendiri dalam PKH, itu ada ganda. untuk PKH dengan BPNT ganda lagi, PKH, BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) dan DTKS ada ganda lagi dan itu kita buktikan pada 2020 kita ke Papua dan kita temukan ganda perjenis sama ganda antar jenis," ungkapnya.
Pahala menyebut bahwa Mensos Tri Rismaharini telah memaparkan ke KPK mengenai kemajuan integrasi data atas rekomendasi KPK. Risma, kata Pahala, menyebut DTKS, BPNT dan PKH aslinya 193 juta penerima orang kemudian setelah digabung hilang sekitar 47 juta jadi sisa 155 juta.
"Ini yang kita bilang ganda, kemudian dia cek lagi niknya karena kita minta dipadankan ke Kementerian dalam negeri, kalau engga ada niknya kita nga tau ini orangnya ada atau nga. Dipadankan ke dagri ada yang nama sama dan segala macem di kasih ke Pemda totalnya sekarang dari 193 juta penerima sekarang tinggal 139 juta. Ini sudah masukan dari daerah penambahan data dan segala macem," kata Pahala.
"Kita yakin ini jauh lebih baik dibanding 193 juta.
Nah ini kita hitung sekitar 52 juta dengan kebijakan ibu menteri tidak
diberikan. Kalau satu data biasa diberikan 200 ribu kita estimasi Rp10,5
triliun itu selamat uang negara karena datanya ada tapi kata bu menteri tidak
saya berikan karena itu ganda, engga ada nik, dan enggak bisa diterangkan
daerah," pungkasnya.
KPK TEMUKAN GRATIFIKASI SEKS HINGGA LUKISAN
Ragam model gratifikasi ditemukan KPK. Tak hanya
berbentuk uang, lembaga ini pula mendapati ‘pemberian imbalan’ menggunakan jasa
seks. Adapula benda yang memiliki nilai seni tinggi.
Belakangan, KPK mendakwa Gubernur Sulawesi Selatan
nonaktif Nurdin Abdullah menerima duit suap dan gratifikasi senilai Rp12,6
miliar, pada 22 Juli 2021. Duit tersebut diterima dari para kontraktor.
Jaksa dalam kasus korupsi bansos menyatakan Juliari Batubara terbukti menerima suap Rp32,2 miliar dari korupsi bansos. Jaksa merinci sumber duit tersebut di antara berasal dari pengusaha Harry Van Sidabukke sebanyak Rp1,28 miliar Ardian Iskandar Maddanatja sebanyak Rp1,9 miliar. Sedangkan sebanyak Rp29,2 miliar dari beberapa perusahaan penyedia barang sembako bansos Covid-19.
Berdasarkan Unit Pengendalian Gratifikasi Kementerian
Kelautan dan Pertanian (UPG KKP) dalam upg.kkp.go.id, adapun jenis
barang-barang yang termasuk ke dalam kategori gratifikasi berupa, benda yang
sifatnya mudah busuk, seperti makanan atau minuman. Jika diterima, wajib
diserahkan kepada pihak yang lebih membutuhkan, seperti panti asuhan atau
lembaga sosial masyarakat.
Lebih lanjut, selain benda-benda tersebut, gratifikasi
juga bisa berupa uang tunai dan atau hadiah atau cenderamata, agar disimpan
terlebih dahulu oleh wajib lapor gratifikasi. Kemudian didokumentasikan sebagai
lampiran pelaporan gratifikasi. Status benda tersebut akan diputuskan setelah
dikeluarkannya penetapan status oleh KPK RI atau UPG KKP, apakah menjadi milik
penerima atau diserahkan kepada Negara.
Adapun temuan gratifikasi lainnya yang dijumpai KPK
yaitu, gratifikasi seks. Hal ini terjadi ketika hakim Setyabudi Tejocahyono
yang diduga menerima hal tersebut pada 2013 lalu. Dugaan itu terungkap dari
pemeriksaan terhadap pengusaha Toto Hutagalung, tersangka penyuapan terhadap
Setyabudhi.
Setyabudi disebut-sebut meminta ‘jatah’ layanan tersebut
pada setiap Kamis atau Jumat. Dalam penjelasan kepada penyidik, menurut sumber
itu, tidak diperoleh alasan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung
memilih layanan itu pada Kamis atau Jumat.
KPK juga pernah menerima 12 barang gratifikasi yang
diserahkan Presiden Joko Widodo dan berasal dari Raja Salman bin Abdulaziz
al-Saud. Hal ini terjadi pada 15 Mei 2019, Jokowi mengunjungi Arab Saudi.
"Barang-barang tersebut diterima oleh Presiden Jokowi dari Raja Salman bin
Abdulaziz al-Saud dalam kunjungan kerja Presiden ke Arab Saudi pada tanggal 15
Mei 2019," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati, Senin
15 Februari 2021.
Keduabelas barang gratifikasi itu di antaranya, satu buah
lukisan bergambar Ka’bah, satu kalung dengan taksiran emas 18 karat dan beberapa
lainnya. 12 item barang gratifikasi senilai Rp 8,7 Miliar. Melalui surat
Keputusan Nomor 1527 Tahun 2020 tanggal 27 Oktober 2020, KPK memutuskan ke-12
barang tersebut ditetapkan menjadi milik negara. (tempo/cnn/okezone)
Komentar