SULUT AWAS, CUKONG POLITIK UANG PEMICU PERUSAKAN ALAM


Manado, MS

Lonceng peringatan dibunyikan untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Sulawesi Utara (Sulut). Permainan politik uang berpotensi besar digerakkan para cukong atau orang berduit lewat pendanaan para calon. Sumber Daya Alam (SDA) kans sebagai tumbal.

Serangan money politic menjadi ancaman kemurnian pesta demokrasi. Pemilih akan dibujuk untuk memilih salah satu pasangan calon (paslon) lewat pemberian uang. Mirisnya aksi yang melanggar ini kerap disokong oleh para pemodal yang membiayai calon kepala daerah.

Pakar Pemilihan Umum (Pemilu) Sulut, Ferry Daud Liando menyampaikan,
pilkada adalah juga kompetisi bagi pengusaha-pengusaha. Ini kemudian berdampak terhadap lingkungan hidup. "Karena kompensasi antara pemimpin yang terpilih dengan pengusaha pengusung," kata Liando dalam sebuah kegiatan rapat koordinasi bersama stakeholder dan organisasi kepemiluan terkait integritas dan ramah lingkungan pada pemilihan gubernur, bupati dan walikota tahun 2020 di Provinsi Sulut, Selasa (17/11), di Best Western The Lagoon Hotel, Manado.
Dirinya menyimpulkan, bahaya dalam lingkungan bukan hanya terjadi ketika proses tahapan pilkada berlangsung saja, melainkan juga pasca tahapan pilkada. Para cukong pilkada menurutnya, akan menguasai SDA. Hal itu karena mereka yang mendanai atau menjadi sponsor di balik kemenangan kepala daerah yang terpilih. "Jangan sampai terjadi, pimpinan pergi (berganti, red) tapi hutan-hutan kita sudah rusak. Jangan heran kemudian ada jalan yang bisa digunakan 5 tahun tapi sudah rusak karena pengerjaan tidak sesuai spesifikasi," tegas Liando.

Kemudian akan ada banyak izin-izin yang diperjualbelikan dan tidak melewati proses analisis dampak lingkungan (Amdal) secara benar. Baginya, ini bahaya yang mesti dikoreksi bersama. Sebenarnya saat ini ada aturan untuk penyampaian laporan dana sumbangan untuk mengetahui siapa yang menyumbang ke paslon. Hanya saja, Bawaslu tidak sampai mengurus hal tersebut. Ada auditor yang ditunjuk khusus untuk meneliti terkait sumbangan ke paslon. Auditor juga tidak bisa masuk lebih dalam sebab hanya memeriksa rekening paslon dan apa yang sudah tertera dalam laporan.
"Nama-nama perusahaan sebenarnya bisa menjadi kontrol publik. Kalau paslon itu terpilih kira-kira siapa saja perusahaan yang bakal menguasai ketika terpilih. Ada hotel atau tambang. Ada yang daerah-daerah resapan dibuat bangunan. Ada yang sebelumnya sawah berubah jadi hotel," jelas Liando.

Dalam Pilkada pula, terdapat cukong yang bahkan menyumbang lebih dari satu calon. Dengan demikian siapapun yang jadi dia masuk didalamnya. "Maka jangan heran ketika di daerah kita baru lima menit hujan sudah banjir karena tidak ada daerah serapan. Kalau kita juga tidak gila dengan money politic, dari pihak calon juga tidak mencari-mencari uang untuk pembiayaan pilkada. Sehingga dia harus mencari (cukong, red) untuk pendanaan. Nantinya mereka (pemodal, red) yang akan dimuluskan saat tender, bahkan ada yang sudah menang sebelum ditender," jelas Liando.

Makanya masyarakat diminta untuk tidak menerima politik uang. Duit yang dibagi-bagikan ke masyarakat itu, bisa saja berasal dari cukong yang nantinya akan siap-siap menguasai SDA ketika yang didanainya menang. Ini dinilai sebagai persoalan karena sudah menjadi kebiasaan calon harus membayar suara untuk menjalankan politik uang. "Tapi ada (calon, red) yang melegitimasi (politik uang, red) bahwa saya memberikan uang karena iman," ujarnya.

Ia menjelaskan, demokrasi di Amerika itu berbeda. Memang di sana juga para calon memiliki sponsor namun asalnya dari kalangan masyarakat. Calon justru disponsori dari komunitas masyarakat yang memiliki kepentingan terkait perubahan kebijakan. "Ada anggota legislatif yang terpilih dari kalangan gay. Tapi itu dari masyarakat. Ada juga yang dari masyarakat pribumi," urainya.

AKTIFIS IKUT MENYOROT

Problem ini juga mendapat kicauan kalangan aktifis. Pentas pilkada dinilai menjadi penentu. Pemimpin yang tepat akan memberi dampak pada kelestarian lingkungan hidup.
Persoalan lingkungan hidup yang kemudian menimbulkan tanah longsor dan banjir sebenarnya dasarnya dari perhelatan Pilkada. Ada banyak pimpinan daerah yang di-backup bos perusahaan yang didalamnya mereka punya kepentingan. "Misalnya dari perusahaan tambang dan sawit. Karena sebenarnya ketika mereka mensponsori calon kepala daerah itu, pada saat dia terpilih kemudian akan keluar regulasi yang memperkuat izin-izin investasi yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan hidup seperti tambang dan sawit," tegas aktifis masyarakat adat Sulut, Nedine Sulu.

Disampaikannya, nantinya regulasi yang mempermudah izin-izin investasi sangat mudah untuk dikeluarkan. Sedangkan sangat sulit keluar izin-izin yang memperkuat pengakuan hak masyarakat atas tanah atau regulasi yang memperkuat dan mengembalikan fungsi-fungsi hutan dan air laut. "Isu lingkungan ini sebenanrya harus menjadi yang utama untuk diperhatikan tapi justru ini yang paling banyak ditinggalkan. Atau justru banyak calon kepala daerah kekurangan strategi untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Tapi mungkin bagi saya itu bukan kekurangan strategi tapi karena ada kesepakatan dari awal," semprotnya.

Menurutnya, dalam pilkada ini, kalau salah melangkah maka semuanya sedang menanti bencana alam. "Jangan sampai ini jadi pada kita. Hanya karena kita tidak peduli dengan calon-calon pemimpin daerah, padahal sebenarnya kita yang akan mendapatkan efek atau dampak," paparnya.

"Intinya bahwa kerusakan lingkungan hidup ini perlu ditanyakan kenapa hutan gundul. Kenapa sampai hutan gundul, pohon habis, lahan produktif hilang. Ada regulasi yang membuat itu dan tentu ada yang membuat regulasi itu," ujarnya.

BAWASLU: INI JADI ‘PR’ KITA

Upaya melahirkan kepemimpinan yang memberikan perhatian terhadap persoalan lingkungan hidup turut menjadi komitmen Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulut. Lembaga ini mengakui, problem tersebut akan dijadikan ‘pekerjaan rumah’ (PR) mereka selaku penyelenggara pemilihan umum (pemilu).

Penegasan itu disampaikan Ketua Bawaslu Sulut, Herwyn Malonda. Komisioner yang mempunyai konsen terhadap isu lingkungan hidup tersebut, ikut pula mendorong lahirnya pemimpin daerah yang memiliki komitmen dengan kelestarian alam. Ia mengungkapkan, upaya Bawaslu sampai sekarang sebenarnya memiliki target. Terutama pada regulasi agar isu lingkungan hidup itu menjadi program paslon. Termasuk dalam praktek pelaksanaan Pilkada. "Ini memang masih menjadi tanggung jawab kita, menjadi PR kita ke depan. Kegiatan Bawaslu saat ini sebenarnya untuk keterlibatan publik. Termasuk juga yang terlibat langsung yakni pasangan calon. Agar supaya kan berbicara lingkungan hidup bukan hanya berbicara hari ini tapi berbicara masa depan," ungkap Malonda usai kegiatan rapat koordinasi bersama stakeholder dan organisasi kepemiluan terkait integritas dan ramah lingkungan pada pemilihan gubernur, bupati dan walikota.
Bagi dia, bumi ini bukan sekedar warisan nenek moyang tetapi sebenarnya ini titipan untuk anak cucu yang harus diwariskan dalam kondisi yang sehat dan baik. "Ini sebenarnya menjadi kontribusi kita. Kontribusi dari penyelenggara (pemilu, red) namun menjadi komitmen paslon. Ada yang sudah menyentuh (dalam debat pilkada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, red) tapi belum optimal," ujar Herwyn.

Mudah-mudahan menurutnya, masalah lingkungan ini akan diingatkan nanti dan diwujudkan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). "Kami juga sudah membuka ruang bagi pegiat lingkungan untuk terlibat dalam proses ini. Karena pemilihan itu bagian dari kehidupan kemasyarakatan yang perlu kita kedepankan isu lingkungan hidup. Memang jadi ‘PR’ kita selama ini. Mudah-mudahan ada perubahan di masa depan. Sebenarnya memang ini komitmen moral kita semua. Seperti dikatakan tadi, bumi bukan warisan nenek moyang tapi hak milik anak cucu kita di masa depan," kuncinya. (arfin tompodung)

 

 


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting