Jual Beli Jabatan di Daerah, KPK Nilai Inspektorat Lemah


PRAKTEK jual beli jabatan terjadi di sejumlah daerah. Salah satu pemicunya, karena pejabat di daerah merasa tak diawasi. Selain itu, peran inspektorat dinilai lemah.

Persoalan itu diakui pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Di daerah itu mereka merasa nggak ada yang mengawasi dalam proses pengadaan barang dan jasanya, dalam proses rotasi, rekrutmen, promosi. Tidak ada yang mengawasi. Kemudian dalam proses perizinan nggak ada yang ngawasin. Saya berpendapat seperti itu kenapa? Inspektorat itu nyaris tidak ada fungsinya," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (31/7).

Dia mengatakan perlu ada peningkatan kualitas inspektorat. Alexander menyebut KPK sudah memberikan penilaian tersebut ke Kemendagri dan sedang ditindaklanjuti. "Kita sudah usulkan ke pemerintah ke Presiden dan kemudian ditindaklanjuti oleh Kemendagri dan MenPAN-RB itu kan. Kita itu kalau saya baca dari perubahannya itu kan APIP untuk tingkat 2 itu SK-nya itu gubernur, kemudian APIP tingkat provinsi SK-nya Mendagri," ujarnya.

KPK setidaknya telah lima kali menjerat kepala daerah dalam kasus dugaan suap terkait pengisian jabatan. Pertama Sri Hartini. Sri terjaring OTT KPK pada 2016. Dia dijerat KPK saat berstatus sebagai Bupati Klaten. Saat OTT tersebut, KPK menyita duit sekitar Rp 2 miliar dari dalam kardus. Sri sudah divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 900 juta subsider 10 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap dalam kasus jual-beli jabatan baik di dinas maupun BUMD. Kedua Taufiqurrahman.Dia dijerat KPK dalam jabatan Bupati Nganjuk. Dia diduga menerima suap terkait pengisian jabatan mulai kepala sekolah hingga kepala dinas. Ada duit sekitar Rp 298 juta yang disita KPK saat OTT terhadap Taufiqurrahman. Selain urusan itu, dia dijerat KPK dalam dua perkara, yaitu penerimaan gratifikasi sebesar Rp 2 miliar terkait proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Nganjuk serta pencucian uang. Untuk kasus suap, Taufiqurrahman telah divonis bersalah. Dia dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 350 juta subsider 4 bulan kurungan. Hak politiknya juga dicabut selama 3 tahun. Ketiga, Nyono Suharli. Nyono dijerat KPK berkaitan dengan jabatannya sebagai Bupati Jombang. Dia diduga menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Silestyowati agar bisa menjadi pejabat definitif. Saat proses OTT terhadap Nyono, KPK menyita duit sekitar Rp 25 juta dan USD 9.500. Nyono divonis 3,5 tahun penjara. Namun jaksa KPK menilai vonis itu terlalu ringan, sehingga mengajukan banding. Pada tingkat banding hukuman Nyono bertambah jadi 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan. Saat ini kasus Nyono masuk ke tahap kasasi. Keempat, Sunjaya Purwadisastra. Bupati Cirebon ini dijerat KPK sebagai tersangka setelah terjaring OTT pada 2018. Saat itu, ada duit miliaran rupiah yang diamankan. Sunjaya kini telah divonis bersalah karena menerima suap terkait pengisian jabatan. Sunjaya dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Pengadilan juga mencabut hak politik Sunjaya selama 5 tahun. Kelima, Muhammad Tamzil. Ia merupakan Bupati nonaktif Kudus. Tamzil harus berurusan dengan hukum karena diduga menerima suap Rp 250 juta terkait pengisian jabatan di Pemkab Kudus. KPK menduga duit tersebut digunakan Tamzil untuk membayar utang pribadinya. Selain Tamzil, KPK menjerat dua tersangka lain, yaitu Staf Khusus Bupati Agus Soeranto dan Plt Sekdis DPPKAD Kudus Akhmad Sofyan.(dtc)


Komentar

Populer Hari ini



Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting