BPJS KESEHATAN TERPURUK, 5,2 JUTA PENERIMA BANTUAN DINONAKTIFKAN


Jakarta, MS

Hawa kepanikan menyelimuti masyarakat di seluruh penjuru negeri. Kamis (1/8) hari ini, sekira 5,2 juta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK) dinonaktifkan. Selain ‘surat sakti’ Menteri Sosial (Mensos), aroma kecurangan tercium di lembaga jaminan sosial tersebut.

Merujuk Surat Keputusan (SK) Mensos Nomor 79 Tahun 2019 tentang Penonaktifan dan Perubahan Data Peserta Bantuan Iuran Jaminan Tahun 2019 Tahap Keenam, ada sekitar 5.227.852 peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinonaktifkan atau dikeluarkan dari PBI. Teranyar, jutaan peserta PBI itu telah digantikan oleh peserta lain yang lebih berhak menerima subsidi dari pemerintah.

"5,2 jiwa itu merupakan PBI JK yang berada di luar DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dan memiliki status NIK yang tidak jelas. Yang bersangkutan selama 2014 sampai sekarang tidak pernah mengakses layanan fasilitas kesehatan yang ditentukan," aku Staf Khusus Mensos, Febri Hendri di kantor pusat BPJS Kesehatan, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu (31/7).

"114.010 jiwa ditemukan telah meninggal, data ganda, atau pindah ke segmen lain," sambung dia.

Tujuan penonaktifan dan penggantian, menurut dia, agar peserta PBI lebih tepat sasaran, yakni orang-orang yang paling membutuhkan dengan tingkat ekonomi rendah. 

Penggantian 5,2 juga peserta tersebut pun akan diambil dari desil 1 dan 2, yang berarti rumah tangga dengan tingkat kemiskinan paling rendah. Penetapan siapa yang menerima PBI pun berasal dari data Kementerian Sosial (Kemensos). "Keputusan menteri itu bisa dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas data PBI JK," tutur Febri.

Terpisah, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Maaruf tak menampik penonaktifan jutaan peserta PBI ini. Meski begitu, Iqbal memastikan, jumlah kepesertaan PBI JK tidak berkurang. Itu karena BPJS Kesehatan akan langsung mengganti peserta lama dengan peserta baru yang masuk daftar Data Terpadu Kementerian Sosial (Kemensos) atau DTKS. Saat ini jumlah peserta PBI seluruhnya sebanyak 96,8 juta jiwa. Angka itu setara dengan 36 persen penduduk Indonesia yang secara total berjumlah 264 juta jiwa.

Menurut Iqbal, peserta nonaktif tidak akan lagi memperoleh jaminan pelayanan kesehatan secara otomatis. Namun, peserta tetap dapat dijaminkan kembali dengan mendaftarkan diri ke Dinas Sosial atau Dinas Kesehatan setempat. "Mereka nanti akan menjadi peserta PBI APBD yang iurannya dijaminkan oleh pemerintah daerah," ucapnya.

Bila peserta yang dinonaktifkan sebetulnya mampu membayar iuran BPJS Kesehatan, Iqbal mengatakan, peserta dapat langsung mengalihkan jenis kepesertaannya ke segmen pekerja bukan penerima upah atau PBPU alias peserta mandiri. "Pilihan hak kelas rawat disesuaikan dengan pembayaran iuran," tuturnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan (Menkeu) Mardiasmo mengatakan, pembahasan mengenai nasib Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan, sudah memasuki tahap akhir. Pemerintah terus menggelar rapat lintas kementerian untuk menyelesaikan masalah defisit yang menghantui lembaga itu. "Besok tanggal 2 hari Jumat, akan bincang-bincang dengan Menko PMK, Menteri Keuangan, Menteri Sosial, dan Menkes, untuk melihat bahwa JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu seperti apa yang seharusnya," ucap Mardiasmo, Rabu (31/7).

Hingga saat ini, Mardiasmo mengaku, berbagai rekomendasi dari tiap lembaga terus dikumpulkan. Ia mengatakan Kemenkes sudah memberikan evaluasi terhadap kelas rumah sakit. Selain itu, terkait dana kapitasi juga sudah diselesaikan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"BPJS Kesehatan harus melaksanakan semua rekomendasi dari BPKP atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, termasuk cleansing datanya, termasuk jika ada beberapa yang masih perbaikan," kata Mardiasmo.

Meski begitu, ia enggan memastikan sikap awal terkait wacana kenaikan premi BPJS. Meski, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) telah mengatakan pemerintah sepakat agar iuran naik, namun ia berkeras hal ini masih dalam pembahasan dan belum mengeluarkan keputusan apapun. "Nanti kita lihat dulu seperti apa, dana kapitasi kan masih banyak," kata Mardiasmo.

ENDUS INDIKASI KECURANGAN

Polemik di tubuh BPJS terkait penonaktifan sekira 5,2 juta peserta PBI JK, kian melebar. Dugaan kecurangan over klaim pada sistem layanan BPJS Kesehatan secara menyeluruh, tercium.

Hal itu dibenarkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Menurut dia, potensi tekor yang dialami BPJS Kesehatan sebesar Rp28 triliun hingga akhir 2019 terindikasi terjadi fraud.

Jelas Sri Mulyani, kecurangan tersebut dikarenakan over klaim pada sistem layanan BPJS Kesehatan secara menyeluruh. Mulai data kepesertaan sampai kepada sistem rujukan, antara Puskesmas, rumah sakit, ke BPJS serta sistem tagihan yang perlu diperbaiki.

"Masih ada beberapa kemarin indikasi kemungkinan terjadi fraud, itu perlu di-address," tutur Sri Mulyani di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (30/7).

Sri Mulyani menceritakan Presiden Jokowi dan Wapres JK sepakat meminta Kemenkes dan BPJS Kesehatan untuk membenahi sistem pelayanan secara menyeluruh, salah satunya adalah menyeimbangkan antara iuran dengan manfaat yang didapatkan.

Pasalnya, kata Sri Mulyani, hasil audit BPKP ditemukan terjadi over klaim lantaran banyak tagihan yang tidak sesuai fakta. "Kita juga mau minta BPJS untuk bangun sistem bisa talangi kemungkinan terjadi fraud, seperti over klaim, tidak ada pasiennya tapi kemudian diklaim," jelas dia.

Selain itu, pemerintah daerah juga diminta memverifikasi data kepesertaan lebih ketat lagi demi terjadi pemberian layanan yang sesuai. Karena, banyak peserta baru ketika hanya mengalami sakit.

"Ini yang timbulkan defisit besar. biasanya mereka hanya jadi peserta saat mau sakit. Kemudian menimbulkan defisit penyelenggaraan," ujarnya.

"Mengenai itu Presiden melihat keseluruhan berdasar hasil audit BPKP, kemudian kita sampaikan beberapa langkah yang satu tentu Presiden harapkan BPJS Kesehatan lakukan perbaikan keseluruhan sistem," imbuhnya.

STRATEGI PEMERINTAH ATASI DEFISIT BPJS KESEHATAN

BPJS Kesehatan terpuruk. Lembaga yang ditugaskan menjamin derajat kesehatan masyarakat ini, didera persoalan. Meski begitu, pemerintah telah merumuskan formula jitu untuk mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan.

Wapres Jusuf Kalla menyebut ada tiga strategi untuk membantu masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan ini. Strategi pertama, kata dia, pemerintah akan menaikkan besaran premi yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan. Nominal kenaikan tersebut, kata JK, masih dalam penghitungan oleh tim teknis.

"Kita sudah setuju untuk menaikkan iuran, berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang) rendah, sekitar Rp23 ribu itu tidak sanggup sistem kita," kata JK di Kantor Wapres Jakarta, Selasa (30/7).

Iuran bulanan BPJS Kesehatan saat ini terbagi dalam tiga jenis, yakni Rp25.500 untuk peserta jaminan kelas III, Rp51.000 untuk peserta jaminan kelas II dan tertinggi Rp80.000 untuk peserta jaminan kelas I.

Strategi kedua, lanjut JK, Presiden Jokowi telah menginstruksikan agar BPJS Kesehatan memperbaiki manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut. Adapun strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah daerah. Artinya, pengelolaan tagihan fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan akan menjadi tanggung jawab gubernur, bupati dan wali kota masing-masing daerah. "Karena tidak mungkin satu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih pesertanya, maka harus didaerahkan, didesentralisasi, supaya rentang kendalinya tinggi, supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan itu dapat dibina oleh gubernur dan bupati setempat," ungkap Wapres.

Diketahui, Senin (29/7), Presiden Jokowi telah memanggil Menkes Nila Moeloek, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dan sejumlah direksinya untuk mencari solusi mengenai defisit anggaran yang dialami lembaga jaminan sosial tersebut.

PEMERINTAH PUSAT AKAN PAKSA PEMDA KERJA SAMA BPJS

Berbagai upaya digedor guna ‘menyelematkan’ BPJS Kesehatan. Salah satu solusi yang mencuat yakni Pemerintah Daerah (Pemda) diminta bekerjasama dengan BPJS.

Demikian Wakil Menkeu Mardiasmo. Menurut dia, pengelolaan BPJS Kesehatan semestinya melibatkan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. "Dana kapitasi (biaya per bulan untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama) kan masih banyak, dan kata Pak Wapres kan bagaimana Jaminan Kesehatan Nasional itu tidak hanya pusat tetapi juga pemda," ujar Mardiasmo di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (31/7).

"Jadi harus ada kerja sama dengan pemda, ini yang kami paksa, semuanya, baik pemda sendiri maupun dengan BPJS harus ada kerja sama. Kalau perlu ada MoU dengan masing-masing daerah," ucap dia.

Mardiasmo menanggapi wacana kenaikan premi BPJS Kesehatan dan upaya pembenahan manajemennya untuk mengurangi defisit. Menurut dia, pemerintah pusat juga telah membantu anggaran kesehatan daerah melalui dana transfer. Ia menilai, dana tersebut bisa pula digunakan untuk membantu menutupi biaya kapitasi guna menopang sistem JKN di daerah. Bahkan, saat ini ada beberapa pemda yang dana kapitasinya bisa ditanggung sendiri melalui APBD tanpa bantuan dana transfer dari pemerintah pusat.

Ada pula pemda yang memperoleh dana bagi hasil cukai dan tembakau (DBHCT) lantaran di daerahnya beroperasi pabrik rokok. Anggaran tersebut bisa digunakan untuk dana kapitasi.

Dengan demikian, menurut dia, sistem JKN tak hanya dioperasionalkan oleh BPJS Kesehatan yang mewakili pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemda lewat berbagai instrumen tadi. "Sekarang kan BPJS katanya akan menggunakan double budget misalnya, ya silakan dilakukan. Intinya ada pendekatan, misalnya ada suatu pemda yang dana kapitasinya dibayarkan APBD-nya berarti tidak perlu dibayar," ujar Mardiasmo.

"Tapi kan tidak bisa semua pemda begitu, tergantung pemda masing-masing. Kalau pemda masing-masing bayar 50 persen dari dana kapitasi, berarti yang dibayar BPJS tinggal sisanya. Artinya different pemda different treatment," kata dia.

Wapres JK juga menyatakan, pemerintah tengah mewacanakan pelibatan pemerintah daerah (pemda) dalam pengelolaan BPJS Kesehatan. Hal itu, kata Kalla, merupakan salah satu poin yang disepakati dalam pertemuan antara Direktur Utama BPJS Kesehatan dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/7).

Kalla mengatakan, pelibatan pemda dalam mengelola BPJS Kesehatan bisa mengurangi defisit yang terus membengkak. Sebab, beban pembiayaan tak hanya berada di pusat, tetapi terbagi ke daerah.

"Kami juga setuju BPJS itu diotonomkan ke daerah. Bahwa sama dengan pemerintah. Karena tak mungkin suatu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih anggotanya. Harus didaerahkan. Didesentralisasi," ujar Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa.

"Supaya rentang kendalinya, supaya 2.500 (rumah sakit) yang melayani BPJS bisa dibina, diawasi oleh gubernur dan bupati setempat. Sehingga sistemnya lebih dekat. Orang lebih mudah melayani masyarakat," kunci dia.(tmp/dtc/kmp)


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting