Rekonsiliasi Organisasi Adat Minahasa dan Gereja Dirangsang

Peluncuran Buku Menguak Akar Masalah Budaya Minahasa dan GMIM


Tomohon, MS

Satu lagi goresan ‘keabadian’ dilahirkan putra Minahasa. Karya tulis berupa buku yang berjudul, ‘Menguak Akar Masalah Budaya Minahasa dan GMIM’ (Gereja Masehi Injili di Minahasa) resmi diluncurkan. Ragam persoalan menyangkut fakta, tafsiran serta riwayat hidup penulis melewati ruang-ruang sejarah pun disajikan. Rekonsiliasi bagi organisasi adat dan lembaga gereja pula jadi tujuan.

Demikian dr Bert Adriaan Supit selaku penulis buku tersebut kepada Media Sulut usai launching yang dirangkaikan dengan bedah buku, Jumat (17/5). Kata dia, konflik dalam kebudayaan hingga saat ini tidak berakhir. Di Majelis Adat Minahasa (MAM) dan K3 (Kerukunan Keluarga Kawanua) Jakarta tidak ada revolusi budaya. Demikian halnya dengan gereja. Dimana UKIT (Universitas Kristen Indonesia Tomohon) sebagai perguruan tinggi yang seharusnya direkonsiliasi. Tidak boleh dipecah-belah.

Di buku ini, ada 5 poin usul penting yang Supit ingin sampaikan ke publik. Pertama, mencari pemimpin kebudayaan yang berakar di Minahasa. Kedua, 6 universitas di tanah Malesung hendaknya mengadopsi sejarah kebudayaan Minahasa. Ketiga, Minahasa Raat harus dijadikan ikon budaya politik dan demokrasi. Keempat, mendukung pemekaran Bolaang Mongondow Raya dan Nusa Utara menjadi provinsi. Kelima, mengadakan kongres Minahasa raya.

Melalui buku ini juga, Supit mau mengingatkan, generasi muda Minahasa mesti menjadi pendorong bagi kaum intelektual. Utamanya universitas-univesitas karena kurang memiliki jati diri sesuai namanya. Generasi muda secara intelektual harus berani berdialog dengan pemerintah di provinsi, kabupaten atau kota.

"Berdialoglah tentang bagaimana mempertahankan kebudayaan Minahasa. Jangan hanya merasa bangga dengan sejarah masa lalu. Tetapi belajarlah dari masa lalu agar tidak terjadi perpecahan di kebudayaan Minahasa," ajak Supit yang juga tokoh GMIM.

Kata dia, ulasan persoalan Minahasa dalam buku itu memang terbatas. Yang paling menonjol justru perpecahan pandangan di gereja. Meski demikian, Supit tidak pernah berpikir mencari siapa yang salah. Melainkan dalam selalu berkeinginan untuk mencari solusi.

"Orang Minahasa pada umumnya, memiliki pandangan berbeda-beda dan luar biasa. Itu merupakan bagian dari demokrasi. Setiap orang memiliki kebebasan mengemukakan pendapatnya. Yang terpenting harus menemukan solusi," lugas Supit di Perpustakaan Minahasa, Kakaskasen, Tomohon Utara.

Editor buku, Swadi Sual mengungkapkan, sang penulis sudah melewati lebih dari satu periode sejarah. Tentunya banyak pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh penulis. "Saya harap, buku ini bisa berguna dan diterima luas oleh masyarakat," asa Sual.

Selaku pemantik dalam bedah buku, Fredy S Wowor SS MTeol menyebut, dilihat dari perspektif budaya, penulis menyampaikan 3 hal mendasar. Pertama, peran tou (=manusia/orang) Minahasa yang sudah menjadi Tonaas atau pemimpin. Artinya, Supit senantiasa menginginkan, ada generasi Minahasa hari ini yang jadi penunjuk jalan pemimpin. Kedua, di sisi lain, berbicara juga soal peran organisasi adat. Jadi, Supit mengorek tentang infrastuktur institusi pendidikan yang berkaitan erat dengan intelektual orang Minahasa.

"Dalam buku ini juga memuat tanggapan penulis kala berdialog dengan kaum muda. Terutama Komunitas Mawale Movement. Sebagai generasi yang lebih tua, Supit menerima eksistensi kebebasan berpikir kaum muda. Inilah yang tidak selalu ada pada intelektual senior," sebut Wowor yang juga Budayawan Minahasa.

Sementara, Akademisi UKIT, Dr Denni Pinontoan MTeol berujar, buku tersebut meninggalkan sejumlah topik. Ini dipandangnya perlu didiskusikan lagi lebih lanjut. Bahkan, penulis menitipkan PR (pekerjaan rumah) bagi gereja dan pegiat-pegiat budaya. Maksudnya, buku yang setebal 880 halaman ini bukan memberkan jawaban atas masalah. Namun pertanyaan-pertanyaan baru terkait permasalahan yang dibahas.

"Kekuatan buku ini ialah memberi daya dorong bagi kegiatan intelektualitas. Dalam hal ini kebudayaan Minahasa, terutama gereja. Kehadiran buku ini sangat tepat waktu. Dimana, saat ini banyak orang membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis terhadap GMIM," kunci Pinontoan yang juga selaku Teolog.

Adapun, penerbitan hingga kegiatan launching dan bedah buku epilog otobiografi Bert Adriaan Supit ini difasilitasi oleh Touweru. Kegiatan ini pun diikuti sejumlah komunitas kebudayaan, perwakilan organisasi adat dan lain sebagainya. Hadir pula Penulis Sejarah Prof Adolf Sinolungan, Sejarawan Bodewyn Talumewo, Budayawan, Joppie Worek dan Matulandi Supit, Akademisi Dr Jonely Lintong MTeol serta para pendeta pemerhati GMIM. (hendra mokorowu)


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting